Dua
Daerah Rawan
Proses pemilihan kepemimpinan Provinsi Kalimantan Timur
(Kaltim) yang baru sedang berlangsung. Gema hajatan politik ini dirasakan juga
oleh seluruh warga di Kota Balikpapan.
Banyak pihak, beberapa hari yang lalu, sejumlah
perwakilan dari tokoh masyarakat di Balikpapan menyatakan diri, mendukung penuh
pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kaltim yang jujur, adil, dan transparan.
Ini dibuktikan melalui pelaksanaan Deklarasi Anti Politik
Uang dan Isu Suku Agama Ras di Hotel Grand Senyiur Balikpapan pada Rabu 14
Februari 2018 pagi. Secara konkrit, acara ini juga melakukan pembubuhan tanda tangan,
bukti mendukung penolakan cara politik yang kotor.
Hal yang perlu dikhawatirkan, selama Pilkada Kaltim ialah
merebaknya politik uang yang dijalankan para kandidat dan tim sukesnya. Daerah
Balikpapan masih dianggap rawan beredarnya gerakan politik uang.
Demikian terungkap oleh Ketua Panwaslu Kota Balikpapan,
Ahmadi Azis, lembaga Panwas sudah mempelajari daerah yang dinyatakan rawan
politik uang. Pemetaan ini sudah dilakukan sejak lama, mengacu pada catat
sejarah pelaksanaan pilkada walikota tahun 2015 silam.
Namun secara presentase, politik uang yang tersebar di
Kota Balikpapan bisa dibilang jumlahnya rendah. Mengingat karaktersitik warga
Balikpapan bisa dibilang rasional dan sudah banyak yang berpendidikan tinggi.
Hitungan politik uang yang terjadi di kehidupan warga
Balikpapan hanya sebesar 8,2 persen dari total Tempat Pemungutan Suara (TPS)
sebanyak 1.365 lokasi.
Kalau pun terjadi politik uang atau kecurangan di TPS,
kata Ahmadi, peristiwanya tidak merata secara masif di seluruh Kota Balikpapan.
Incaran kecurangan politik biasanya lari ke daerah-daerah
pinggiran, yang dianggap basis massa pragmatis yang berpendidikan menengah.
“Daerah yang rawan ada di bagian barat dan timur,” ujarnya.
Menurut dia, pilkada Kaltim saat ini dianggap
pengawasannya sangat maksimal, termasuk juga melibatkan kepolisian daerah.
Gerak langkah tim sukses dan kandidat terpantau ketat. Ancamannya pun tegas,
tidak main-main.
Payung hukum yang mengatur dilarangnya praktik politik
uang ialah Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 sebagaimana Undang-undang Nomor 8
tahun 2015 mengenai Pilkada.
Ini bisa dilihat di pasal 187 poin A hingga D,
disebutkan, orang yang terlibat politik uang sebagai pemberi bisa dipenjara
paling singkat 26 bulan dan paling lama 72 bulan.
Bukan hanya pidana penjara, ternyata juga ada hukuman
dendanya. Yakni terkena denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1
miliar.
Pastinya, mereka yang terbukti secara sah melakukan
politik uang secara sistematis dan masif dipastikan mendapat hukuman yang
paling terberat.
Kedua hukuman semacam ini juga berlaku bagi mereka yang
menerima politik uang. Bandingkan dengan penyelenggaraan Pilkada di tahun 2015,
aturan undang-undang ini belum tersedia.
Karena itu, tegas Ahmadi, bagi kandidat yang secara fakta
lakukan politik uang dan kecurangan secara masif, tentu saja ancamannya pidana
dan pencoretan sebagai kontestan.
“Balikpapan bagi kandidat-kandidat lain dianggap sebagai
lumbung suara. Pasti banyak yang melakukan gerakan untuk mencari simpati. Kami
harap mencari simpati dilakukan secara benar, ikut aturan yang berlaku, tidak
harus bermain curang. Hukumannya jelas diatur,” tuturnya.
Polres Soroti Dunia Maya
Pagelaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kalimantan
Timur tidak saja disaksikan oleh Panitia Pengawas Pemilu, akan tetapi juga
disoroti aparat penegak hukum seperti kepolisian. Sisi pengawasan dari
kepolisian punya peranan penting untuk menegakkan hukum. Operasi yang dilakukan
kepolisan masuk ke ranah dunia maya.
Hal ini diungkapkan, Kapolres Balikpapan AKBP Wiwin Fitra
usai mendatangi Deklarasi Anti Politik Uang dan Kampanye Isu Suku agama dan ras
(Sara), di Hotel Grand Senyiur Kota Balikpapan beberapa hari yang lalu.
Penyelenggaraan Pilkada tidak bisa terlepas dari
persoalan. Pengalaman di beberapa tempat, Pilkada selalu memunculkan kerawanan
gejolak sosial masyarakat.
Satu indikator penyebab biasanya bersumber dari dunia
internet. Saat ini, setiap orang tidak terlepas dengan genggaman gawai. Akses
internet bagi orang perkotaan dan kaula muda muda diperoleh.
Mengacu dari data Kementerian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia tahun 2017, yang menyadur juga dari We Are Social disebutkan negara Indonesia, penetrasi internetnya
sudah mencapai 132,7 juta orang.
Jumlah penjelajah internet tersebut yang menggunakan
media sosial bila dirinci sebesar 106 juta adalah pemakai media sosial. Paling
tertinggi media sosial yang digunakan ialah Youtube dan Facebook, lalu
Instragram dan di bawahnya ada Twitter.
Kadang, kata Fitra, ada beberapa penyusup, atau oknum
yang sengaja ingin mengacaukan proses demokrasi melalui senjata media sosial
(medsos). Akun-akun medsos yang tersebar di dunia maya jumlahnya sangat ragam.
Yang patut diwaspadai itu, gerakan medsos yang sengaja
dibuat untuk memunculkan keresahan masyarakat atau menjatuhkan lawan politik
tertentu.
“Kami sudah bentuk tim cyber. Tugas utamanya selalu
melakukan patroli di dunia maya. Setiap hari. Tiada henti. Tim ini juga
melibatkan semua unsur, dari tingkat Polda sampai Polresta,” katanya.
Pemantauan yang dilakukan tim cyber melihat dari sisi
dunia maya, baik itu situs website maupun akun-akun medsos. Perkembangan dan
trafik laju gerak dunia maya selalu diawasi. “Khusus di Polres sendiri kami
tempatkan bisa tiga sampai lima orang yang bertugas,” ujarnya.
Jika memang ditemukan hal-hal yang dianggap bohong dan
berbahaya akan segera ditindak. Harapan terbesarnya jangan sampai isu fitnah
yang membuat keresahan merembet ke dunia nyata.
“Ada isi informasi kampanye Pilkada yang berbau isu
fitnah atas nama sara, akan segera direspon, ditindaklanjuti, jangan sampai
meluas dan melebar,” ujarnya.
Berkaca pada data yang dihimpun Kementrian Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan terungkap 90,30 persen berita bohong atau hoax paling banyak mewabah di medsos dan
angka 21,60 persen adalah informasi yang tidak akurat mewarnai layar pengguna
medsos.
Menurut H. Sugianto, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kota Balikpapan saat mengisi materi di Forum Diskusi Publik Bijak Bermedia Sosial
di Hotel Swissbelin Kota Balikpapan pada akhir tahun lalu, menegaskan, sudah
ada Keputusan Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2016 Bermuamalah dalam Media Sosial.
Bagi siapa pun mereka yang memakai medsos, wajib
melakukan verifikasi, tidak boleh langsung memercayai apa yang disebarkan di
dunia internet. Perlu memenuhi unsur tabayyun, atau mencari aspek referensi
kebenarannya seperti subjek, latarbelakang tempat dan waktunya.
Fenomena merebaknya informasi fiktif di medis sosial
tidak terlepas adanya kepentingan yang sifatnya duniawi. Inilah yang menurut
Henry Subiakto, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika RI, yang
menegaskan, kabar bohong yang menyebar di dunia internet secara masif adalah
unsur mengambil kepentingan dari situasi yang sengaja sudah dirancang.
“Semua sudah banyak yang melarang (berita bohong atau
hoax) tapi kenapa masih banyak (beredar) ? Karena adanya kepentingan uang dan
politik,” katanya.[1]
(ilo)
[1] Koran Tribunkaltim, “Balikpapan Rawan Politik
Uang,” terbit pada Senin 19 Februari di halaman 13 rubrik Tribun Etam.
Komentar
Posting Komentar