Langsung ke konten utama

HOTEL KALTIM KESETRUM GENSET

Membebani Cabut Retribusi Genset

Persoalan mendasar yang dihadapi industri perhotelan dan restoran terkini di beberapa wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) terletak pada kebijakan pengenaan retribusi penggunaan generator set (genset) serta fenomena merebaknya guset house. 

Hal ini disampaikan Muhammad Zulkifli, Sekretaris Jenderal Badang Pengurus Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kaltim, usai melangsungkan Muscab PHRI Balikpapan di Hotel Platinum Balikpapan pada Sabtu 21 April 2018 sore.

Ia menjelaskan, kebijakan pengenaan retribusi yang selama ini diberlakukan ke kalangan pengusaha perhotelan dan restoran memberikan dampak yang buruk bagi pendapatan usaha.



Mengingat kondisi ekonomi secara lokal dan nasional masih belum menjanjikan, tantangannya masih berat. Kepastian pertumbuhan ekonomi secara progresif belum bisa ditebak dan dirasakan secara nyata, masih berjalan terseok-seok.

Karena itu, tegasnya, para pengusaha hotel dan restoran di seluruh wilayah Kaltim berkeinginan ada keringanan untuk tidak memberlakukan retribusi penggunaan mesin genset.  

“Harusnya disederhanakan. Tidak perlu lagi kena retribusi. Yang memakai genset sampai 200 volt dikenakan retribusi, ini kami anggap bukan hal yang tepat,” tuturnya.

Saat akan membangun hotel perlu mengurus puluhan izin, satu di antaranya izin penggunaan genset dan instalasi pendukungnya. Kemudian setelah berdiri pun, tetap dikenakan retribusi yang selama ini PHRI anggap bukan kebijakan yang jitu.

“Selama ini kami (PHRI) dalam penyediaan genset bukan untuk kegiatan komersil. Tidak kami jual ke masyarkat dari kegiatan penggunaan genset,” tegas Zulkifli, yang kala itu mengenakan kemeja corak batik merah tua.

Menurut dia, setiap hotel menggunakan genset karena adanya kendala dari pasokan layanan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ketika PLN tidak lagi sanggup mengalirkan listrik maka setiap hotel mengandalkan listrik dari genset. Sumber listrik nya tidak dijual untuk masyarakat di luar hotel namun lebih disajikan khusus buat tamu yang berada di hotel.

“Kalau tidak sediakan genset nanti tamunya bagaimana? Kalau kami tidak sediakan nanti lari semua tamunya. Genset yang kami pakai itu untuk pendukung saja saat pasokan listrik dari PLN mati,” tuturnya.

Sebagai langkah masukan, pengurus PHRI tingkat nasional sudah mengusulkannya ke pemerintah pusat melalui Dirjen Ketenagalistrikan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.

“Kami yang dari PHRI Kaltim juga sudah berikan aspirasi melalui pengurus pusat. Semoga usulan kami diterima sama pemerintah pusat. Kalau pemkot atau pemda tidak berwenang untuk hal begini,” tuturnya.  

Berikutnya persoalan munculnya guest house dan home stay di beberapa wilayah perkotaan. PHRI menganggap keberadaan guest house bagian dari bentuk persaingan tidak sehat. Pemerintah daerah perlu ada keterlibatan untuk membuat aturan sebagai payung hukum untuk penertiban, mengembalikan pada jalurnya.

Kata Zul, guest house itu secara teori diperuntukan bagi kalangan karyawan semata yang keberadaannya di daerah pelosok. Seperti halnya sebuah pertambangan migas yang ada di Penajam Paser Utara.

Karena di lokasi itu tidak ada tempat penginapan maka perusahaan ini membangun guest house untuk alasan memberikan fasilitas tenaga kerjanya berupa tempat tinggal yang dekat dengan perusahaan. 

“Perusahaan tidak perlu lagi taruh karyawannya di hotel. Bangun saja guest house, itu yang benar,” ujarnya.

Namun yang terjadi kini, orang mendirikan guest house pada kenyataanya operasional dan fasilitas mirip hotel. “Menamakan guest house tapi kenyataannya, harganya sama dengan hotel. Terima tamunya juga dari umum yang pangsa pasar hotel,” ungkap Zul.

Melapor ke DPRD Balikpapan
Di tempat yang sama, mantan Ketua PHRI Balikpapan, Yulidar Gani, ungkapkan, belum lama ini pihaknya telah mengajukan peraturan daerah inisiatif ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kota Balikpapan.

“Saya sudah ketemu dengan komisi II. Kami inginkan adanya perda yang atur soal keberadaan guest house, perhotelan, dan home stay. Supaya ada kejelasan, ada ketertiban,” kata Zul. 

Menurut dia, keberadaan Perda akan memberikan aturan yang jelas supaya orang-orang tidak serta merta mendirikan guest house. Kalau yang mirip dengan hotel ada baiknya jangan memakai nama guest house.

“Kami tidak melarang orang dirikan guest house atau hotel. Silakan saja tapi harus sesuai. Kami tidak melarang mereka jalankan usaha perhotelan tapi namanya jangan pakai guest house,” tuturnya.

Dia menganalisis, banyaknya perhotelan berkedok guest house karena secara aturan dan retribusi dan pajak, jauh lebih ringan dari guest house ketimbang perhotelan. 

Menjalankan bisnis guest house dianggap menguntungkan karena aturannya tidak terlalu berat ketimbang dengan sektor jasa perhotelan.

“Mereka yang jalankan guest house tidak semuanya ada yang bayar pajak. Ada itu yang tidak bayar. Mereka berdalih jumlah tamunya sedikit. Pembukuan mereka masih manual, bisa saja dibuat-buat. Tidak secara komputerisasi yang semua transaksi terekam secara mudah,” ungkap Gani.  

Persoalan retribusi genset dan fenomena guest house juga telah mencuat di berbagai daerah. Hal ini terungkap saat ada kegiatan Rapat Kerja Nasional PHRI seluruh Indonesia di Palembang, Sumatera Selatan ada awal April 2018.
 
“Rata-rata, di seluruh daerah mengeluhkan keberadaan guest house dan home stay yang berdiri marak, juga kebijakan retribusi genset,” tuturnya.

Tidak akan Meringankan Pajak
Terpisah, Hendrik, Sekretaris Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olah-raga Kota Balikpapan, usai memberikan pidato pembukaan Muscab PHRI Balikpapan di Hotel Platinum, mengatakan, pemerintah kota akan membahas mengenai maraknya guest house di beberapa pusat Kota Balikpapan.

“Secara nasional, di Undang-undang memang belum ada aturan soal guest house. Ini kita sedang akan bahas,” ujarnya kepada Tribunkaltim.

Menurut dia, praktik usaha guest house yang tersebar di keramaian Kota Balikpapan memberikan dampak bagi keberadaan usaha penginapan yang berizin perhotelan. Pihaknya telah menerima laporan keluhan dari PHRI Balikpapan.

“Kasihan mereka. Nanti kami akan bahas ke atas. Kita koordinasikan dahulu,” ujar pria bertubuh tinggi besar ini.

Dia menyatakan, guest house itu merupakan tempat penginapan untuk perusahaan, tapi ada praktek yang melakukan seperti hotel berbintang atau pun kelas melati.

“Ini nanti dirumuskan. PHRI silakan berikan masukan. Kita pemkot bisa bahas, yang bisa bawa juga ke DPRD, supaya ada satu pandangan,” tegas Hendrik.

Saat ditanya apakah pemerintah kota akan menurukan retribusi dan pajak bagi hotel dan restoran di tengah situasi ekonomi yang sedang tak bergairah, Hendrik menyatakan secara tegas, tidak akan diubah menjadi turun.

Ia menjelaskan, kemungkinan kecil tidak akan ada rencana penurunan penarikan pajak dan retribusi. Seperti halnya pengenaan pajak bagi hotel dan restoran ialah sebesar 10 persen. 

“Saya pikir tetap yang sekarang. Sudah dicantumkan di Perda, tidak mungkin ditarik, atau diubah lagi,” tutur Hendrik yang pernah bertugas di instansi Perpustakaan Daerah Kota Balikpapan. 

Paling upaya pemerintah kota dalam membantu pelaku usaha perhotelan dan restoran hanya pada sisi mensukeskan program destinasi wisata di Kota Balikpapan.

Pemerintah dengan segala daya dan upaya di tengah keterbatasan anggaran, akan terus bersemangat membantu mempromosikan wisata Balikpapan supaya ada peningkatan kunjungan wisatawan dari luar Kota Balikpapan.

“Kami hanya bisa membaca peluang untuk datangkan wisatawan. Menggelar event nasional. Misalnya mengajak pemerintah pusat yang punya program, atau yang lainnya, kita ajak, kita undang untuk melangsungkan di Balikpapan saja supaya nanti hotel dan restoran bisa penuh,” tegasnya.[1]  

Bakal Dimasukan Prolegda 2019
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Balikpapan telah menerima aspirasi dari para pelaku usaha hotel dan restoran yang terwadah dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) cabang Balikpapan yang ingin ada Peraturan Daerah (Perda) soal jasa penginapan.

Hal ini disampaikan Ketua DPRD Balikpapan, Abdullah, kepada Tribunkaltim usai ikuti mediasi persolan ojeg daring di Dinas Perhubungan Kota Balikpapan pada Senin 23 April 2018 siang.

Pria berkumis hitam tebal ini menyatakan, DPRD Balikpapan telah menerima aspirasi terutama usulan untuk membuat perda yang mengatur soal keberadaan guest house, rumah kosan, home stay dan perhotelan yang ada di Kota Balikpapan.

“Memang rumah sewa lagi banyak yang aspirasikan. Kami akan rancang aturannya,” tuturnya.

Dia pun berjanji, sampai sekarang ini sedang dilakukan proses menuju rancangan perda. Lagi masih tahapan perda inisiatif yang sedang dibahas di komisi.

“Kita kajian dahulu. Aturan dibentuk untuk semua supaya tidak merugikan beberapa pihak,” kata Abdullah.

DPRD Balikpapan pun merasa setuju Kota Balikpapan memerlukan Perda soal jasa penginapan. Sejauh ini belum ada payung hukum yang mengaturnya. 

Aturan dibuat untuk memberikan kemanan, kenyamanan dan ketertiban bagi para pelaku usaha penginapan.

“Semua bisa terakomodir harus diatur dalam Perda. Perlu dikajian mendalam. Mudah-mudahan bisa dimasukkan dalam Prolegda (program legislasi daerah) di tahun 2019 nanti,” ungkap politisi partai Golkar ini.

Sejam Keluar Uang Ratusan Ribu
Pelaku usaha perhotelan di Kota Balikpapan merasa keberatan atas penerapan pajak penggunaan generator set (genset) karena dianggap tidak efektif dan tidak efisen bagi dunia perhotelan.

Ini disampaikan satu di antara pemilik sebuah hotel di Kota Balikpapan. Sebut saja Muhammad Syacrial, owner Hotel Mitra Amanah Syariah, menegaskan, sebaiknya penerapan pengenaan pajak atau retribusi genset di kalangan perhotelan dihapuskan saja.

“Saya tidak setuju. Dihapus saja kebijakan pengenaan pajak buat pemakaian genset,” tegasnya kepada Tribunkaltim pada Senin 23 April 2018.

Secara hitungan kasar, penggunaan listrik bertenaga genset dianggap berbiaya mahal ketimbang memakai aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara. Penggunaan genset mesti repot membeli bahan bakar sendiri di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum atau tukang bensin eceran.

Sementara menikmati aliran listrik dari PLN tidak perlu repot keluarkan waktu dan biaya tinggi untuk beli bahan bakar. Hitungan memakai listrik dari PLN pastinya bertarif lebih murah ketimbang memakai bahan bakar bensin.

Belum lagi perawatan genset perlu diperhatikan, sebab mesin genset membutuhkan perawatan berkala. Merawat mesin pun tidak gratis pastinya keluarkan biaya lagi. 

Nasib pahit saat listrik dari PLN padam berjam-jam tentu saja mesin genset beroperasi lama, yang bakal rentan mengurangi kemampuan genset.

Semakin genset dipakai terus menerus pastinya butuh perawatan intensif. Mesin dipakai terus akan panas semakin lemah, ada batas waktunya. Jika tidak dirawat baik, mesin genset tidak akan berumur panjang.

“Tidak efektif dikenakan pajak genset. Kan dipakai sendiri buat hotel, bukan untuk diperjual belikan. Ini kan aneh saja,” ungkapnya.

Penggunaan genset bergantung pada pasokan listrik PLN. Bila pelayanan PLN masih padam, maka hotel dan restoran sangat mengandalkan mesin genset. 

Hitungan kasarnya, jika mesin genset berdaya 200 kilo volt ampere dioperasikan selama satu jam biasa meminum solar sampai sekitar 42 liter.

Sekarang ini harga untuk solar per Maret 2018 bertarif Rp 5.150 di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). 

Nah, jika selama satu jam genset konsumsi 42 liter maka hitungan per liter Rp 5.150 maka biaya yang harus dikeluarkan ialah Rp 216.300. 

Andaikan membeli solar di tukang bensin eceran tentu saja harga per liternya lebih mahal lagi dari harga yang ditawarkan di SPBU.

Senada disampaikan, Sahmal Ruhip, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) cabang Balikpapan, menegaskan, penerapan biaya buat genset sangat merepotkan pelaku perhotelan.

Situasi ekonomi sedang belum bergairah, pendapatan sulit diraih, ditambah beban biaya pajak genset dipastikan semakin membuat kacau pikiran. Kata Sahal, sejauh ini masih ada yang pro dan kontra terhadap pengenaan pajak genset.

Ada hotel yang masih diam saja, ada yang kritis. Sebagian besar banyak yang kontra, ingin dihapuskan pajaknya. 

Menurutnya, kasihan saja hotel yang pendapatannya menurun terus dikenakan pajak genset pastinya bingung. “Bagaimana mau bayar gaji karyawannya, bagaimana mau dapat untungnya,” katanya.

Pengenaan pajak genset, mengacu pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 

Pemberlakukan pajak genset hanya dikenakan kepada mereka pengguna genset bertenaga mega berdaya minimal 200 kilo volt ampere.[2] (ilo)

USAHA PARIWISATA BALIKPAPAN
-       Tahun 2015 sekitar 900 usaha.
-       Tahun 2016 sekitar 1800 usaha.
-       Tahun 2017 sekitar 2500 usaha.
Sumber Data: Dinas Pariwisata Balikpapan tahun 2018 (ilo)



[1] Koran Tribunkaltim, “PHRI; Cabut Retribusi Genset,” terbit Senin 21 April 2018 di halaman depan.
[2] Koran Tribunkaltim, “Sejam Pakai Genset Biaya Ratusan Ribu,” terbit Selasa 22 April 2018 di halaman depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAYJEN TNI SONHADJI INGIN MENGAJAR

Menekuni Profesi Dosen Lemhanas Pagi yang cerah, menjadi tanda pembuka sejarah baru bagi Kodam VI Mulawarman. Markas Kodam yang berada di bilangan Jalan Jenderal Sudirman Kota Balikpapan ini kedatangan sosok pria gagah yang digadang-gadangkan menjadi Panglima Kodam Mulawarman yang bakal menggantikan Mayjen TNI Sonhadji.   Menyambut kedatangan calon Pangdam tersebut, sejumlah prajurit dan pegawai negeri sipil di lingkungan Kodam Mulawarman menyelenggarakan seremonial barisan pedang pora dengan iringan musikalitas marching band persembahan Yonzipur 17 Ananta Dharma, Selasa 20 Maret 2018. Calon pangdam yang tiba dimaksud ialah Mayjen TNI S ubiyanto, datang bersama istri ke Kota Balikpapan. Sebelum tiba di Makodam Mulawarman, keduanya telah melakukan ritual tepung tawar di Bandara Udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Balikpapan sebagai makna telah menjadi bagian dari masyarakat Kalimantan Timur.   Dipayungi awan cerah dengan berbalutkan sinar fajar, keramaian di pelatar

WIRAUSAHA MUDA INDONESIA MASIH RENDAH

Wirausaha Muda Indonesia  Masih Rendah FOTO: Pedagang Pasar Taman Kesatuan Bangsa Manado_budisusilo JUMLAH pengusaha muda di Indonesia hanya 0,18 persen dari total penduduk di Tanah Air. Angka itu masih jauh jika dibandingkan dengan Malaysia yang jumlahnya 16 persen dari total populasi penduduk di negeri jiran tersebut. TAK berbeda jauh di Sulawesi Utara (Sulut). Hanya segelintir orang muda yang berani mengadu nasib di sektor usaha. Paramitha Paat misalnya. Setelah selesai kuliah, dia memilih jalankan usaha sendiri. Keputusan tersebut dilakukannya karena dia mengaku tidak suka dengan pekerjaan terikat. "Oleh karena itu, ketika ada teman yang mengajak joint partner saya langsung setuju," ujarnya, Kamis (23/2). Mitha --panggilan akrabnya-- mengatakan, ada keuntungan dan kerugian dalam membuka usaha, namun yang pasti kalau usaha rugi ditanggung sendiri, begitu pula jika untung dinikmati  sendiri. Yang pasti membuka usaha, banyak pelajaran diperolehnya, tidak didapatkan ketika d

DEMI PENGUNGSI NURLELA RELA PUNGUT SAMPAH

Demi Pengungsi Nurlela Rela Pungut Sampah Menjelang sore, cuaca bersahabat. Belasan muda-mudi berkumpul di Kelurahan Danowudu Lingkungan Satu. Remaja yang tergabung dalam Jongfajarklub memanfaatkan waktu ini untuk melaksanakan program Go Green penukaran sampah plastik menjadi uang, untuk serangkaian kegiatan sosial satu di antaranya pengungsi, Sabtu (8/10/2011). Seorang aktivis Jongfajar, Diki Rustam, menuturkan, kegiatan Go Green mengumpulkan sampah-sampah plastik bekas gelas dan botol plastik air mineral. "Kami pungut demi lingkungan bersih," ujarnya kepada Tribun Manado. Teknis kegiatan Go Green yang dilakukan Jongfajar mengumpulkan sampah-sampah di Kota Bitung dan ditampung di Girian Bawah. Sampah dibawa oleh para relawan jongers dari tempat-tempat wilayah rawan sampah. Sudah terkumpul banyak ditukarkan ke bank sampah menjadi uang. "Buat tambahan pembiayaan program pemberantasan buta aksara di masyarakat secara gratis yang kami akan lakukan di warga peng