Langsung ke konten utama

MEMPERKAYA ELITE di TENGAH PAPANYA RAKYAT

Memperkaya Elite 
di Tengah Papanya Rakyat
Oleh: Budi Susilo
Catatan: Selasa23 Desember 2008
Belum lupa dari ingatan kita beberapa waktu yang lalu, berbagai surat kabar di Indonesia menyajikan berita utamanya mengenai bencana banjir yang melanda wilayah DKI jakarta dan sekitarnya. Bencana yang terjadi puncaknya pada 2 Februari 2007 lalu mengakibatkan persoalan kehidupan masyarakat yang sudah sulit menjadi lebih sulit. 
Bayangkan saja akibat bencana banjir tersebut, para pelaku industri mengalami kerugian berkisar antara 350 juta hingga 400 juta dollar Amerika Serikat. Tak dinyanya angka itu ternyata lebih besar dari kerugian karena banjir yang terjadi pada tahun 2002 yang mencapai 200 juta dollar Amerika Serikat. (Kompas, 14/02/2007) 
Belum lagi timbulnya beberapa macam penyakit pasca bencana banjir, seperti diare, demam berdarah, dan leptospirosis, yaitu penyakit yang disebabkan oleh air kencing tikus. Jenis penyakit ini sangat rawan terjadi di kawasan bekas banjir, dimana bakteri penyakit ini menyerang hati, ginjal, dan otak manusia bahkan bisa juga mengakibatkan hilangannya nyawa.
FOTO: Perkampungan miskin kota di daerah Maasing Kota Manado Januari 2012_budisusilo
Memang pada awal tahun 2007 ini, Indonesia masih saja bertubi-tubi mendapat bencana. Sebelumnya di tahun 2006 kita bisa melihat di beberapa media masa yang tiap penerbitannya selalu memuat kabar-kabar yang menyedihkan bagi bangsa ini. Gempa dan Tsunami misalnya, melanda di tanah serambi mekah, Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, mengakibatkan puluhan jiwa dan harta lenyap begitu saja. 
Lalu juga bencana semburan gas liar kawasan lumpur Lapindo Brantas Inc. di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang sampai saat tulisan ini dibuat belum juga dapat tertangani. Belum lagi bencana tanah longsor dibeberapa sebagaian wilayah Indonesia, seperti daerah Kalimantan dan Sulawesi yang sering terjadi kejadian ini. Tentu ini juga diakibatkan oleh tangan manusia itu sendiri dengan melakukan kegiatan pembalakan liar dengan tanpa mengindahkan penebangan pohon secara tebang pilih. 
Kemudian juga bencana kemanusiaan terjadi di Poso, Sulawesi, bentrokan fisik dengan saling bunuh-membunuh antar sesama saudara. Padahal upaya perdamaian sudah dilakukan dalam perjanjian Malino I dan II, tapi tetap saja konflik masih terjadi. Dan banyak lagi bencana-bencana, entah itu karena alam, kemanusiaan, politik, hukum yang tidak bisa disebutkan semuanya dalam tulisan kali ini.
Sekedar untuk mengingatkan kembali, bangsa kita diawal tahun 2007 begitu juga samanya didera oleh bencana entah karena faktor alam maupun juga akibat ulah manusianya itu sendiri. Semisal sering terjadinya kecelakaan pada sistem transportasi kita seperti jatuhnya pesawat Adam Air KI 574 yang sampai sekarang belum ditemukan keberadaannya, serta terbakarnya angkutan Kapal Motor Senopati Nusantara dan Levina 1 yang mengakibatkan korban jiwa dan harta yang tak sedikit. 
Bahkan terlebih lagi Indonesia sejak bulan November 2006 dan puncaknya awal 2007 lalu mengalami krisis produksi beras. Ini bisa dibuktikan pada harga pasaran beras dijual dengan harga Rp. 6000 sampai Rp.7000 per Kg. Tentunya ini bisa membawa dampak pada peningkatan jumlah angka kemiskinan yang menurut Badan Pusat Statistik tahun 2006 jumlah rakyat miskin 39,1 juta orang (17,75 persen), dengan kisaran konsumsi kalori 2.100 kilokalori (kkal) atau garis kemiskinan sekitar Rp. 152.847 per kapita per bulan. Dan tambahnya lagi menurut Bank Dunia, kurangnya stok beras nasional sejak tahun 2004 telah menyebabkan kenaikan harga beras 33 persen pada periode Februari 2005 sampai Maret 2006, dan telah mengakibatkan tambahan 3,1 juta orang miskin baru. (Kompas, 19/02/2007). 
Permasalahannya mayoritas masyarakat Indonesia, beras dijadikan konsumsi utama sehingga faktor bagi jumlah kemiskinan bisa melonjak drastis. Dan kunci permasalahannya pun akhirnya pemerintah mengambil kebijakan mengimpor beras sebesar 500 ribu ton demi menjaga stok nasional selain juga dengan melakukan upaya-upaya reformasi di bidang Agraria. 
Padahal Indonesia sebagai negara Agraris (Gemah Limpah Loh Jinawi), bahkan grup musik band legenda Koes Ploes sampai-sampai dalam salah satu lirik lagunya menyatakan "tanam tongkat pun jadi tanaman", seharusnya Indonesia menjadi negara berswasembada pangan dan menjadi adidaya negara pengekspor hasil bumi. Tapi sungguh disayangkan yang terjadi malah sebaliknya, negri yang subur makmur alamnya, malah ibarat sebuah negri tandus, gersang dan garang.
Begitulah wajah Indonesia pada kenyataannya, penuh dengan bencana dan keboborokan yang tak kunjung-kunjung usai. Tapi sungguh disayangkan di tengah bencana yang bertubi-tubi tersebut, para pejabat negara masih banyak menunjukan sikap ketidakpatutan di tengah menderitanya rakyat Indonesia. Ini bisa dibuktikan yaitu para penyelenggara pemerintahan mengeluarkan kebijakan mengenai kenaikan tunjangan bagi para pejabat legislatif yang diambil dari anggaran publik, yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat luas.

KETIDAKWAJARAN PEJABAT NEGARA
Untuk mewujudkan impian tersebut, pemerintah mengeluarkan aturan dalam bentuk peraturan pemerintah, yaitu PP No. 37 tahun 2006 tentang Susunan Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Meski dikeluarkan oleh pemerintah, tapi PP itu sebenarnya lahir atas tekanan DPRD. 
Bahkan Danny Indriana Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM dalam artikelnya yang berjudul "Menyelamatkan Uang Rakyat" di Kompas menganjurkan kepada Presiden Yudhoyono untuk tidak lagi disetir pikiran sesat elite asosiasi DPRD dan konsisten mencabut PP No 37 tahun 2006. PP itu adalah kebijakan memperkaya elite di tengah papanya rakyat serta rentetan bencana yang melanda negeri.
Apalagi lanjut Danny, PP No. 37 tahun 2006 adalah skandal kebijakan pada tingkat substansi, perumusan, hingga tahap pelaksanaan. Secara proses, PP itu lahir dari desakan elite asosiasi DPRD yang menganggap tunjangan berdasarkan PP No 24 tahun 2004 maupun PP No 37 tahun 2005, masih kurang. Oleh karenanya elite asosiasi DPRD tidak dapat berdalih, PP No 37 tahun 2006 adalah kebijakan pusat yang membuat mereka menjadi kambing hitam. Memang benar PP No 37 tahun 2006 ditandatangani Presiden, tapi adalah fakta, elite asosiasi DPRD amat aktif melakukan lobi dengan mengunjungi banyak pihak, antara lain Wakil Presiden, Komisi II DPR, dan Departemen Dalam Negeri. Dan usut punya usut PP No 37 tahun 2006 ini ternyata hanya dikomunikasikan dua arah, antara asosiasi DPRD dan pemerintah pusat. Jadinya proses transparan dan pelibatan masyarakat luas dienyahkan. (Kompas, 14/02/2007)
Semestinya penyelenggaraaan pemerintahan negara haruslah yang solid dan bertanggung jawab serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara dominan-dominan negara, struktur swasta dan masyarakat luas. Selain demikian, sistem pemerintahan yang apik harus ada partisipasi yang menyatakan bahwa semua angota institusi governance memiliki kekuatan dalam mempengaruhi pembuatan keputusan. Dan juga, prosedur dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar memungkinkan terjadinya partisipasi efektif.
Tapi ironisnya setelah kejatuhan orde baru yang seharusnya beralih ke pemerintahan era reformasi yaitu jaman yang identik dengan perubahan-perubahan paradigma pemerintahan, malah terjerembab dalam pandangan konservatif orde baru. Semestinya pemerintahan Susilo Bambang Yudohono dan Jusuf Kalla saat ini haruslah berpandangan modern. Salah satu wujud dari pemerintahan modern salah satu syaratnya ia dibentuk untuk memberikan pelayanan pada masyarakat. Bukannya rakyat yang melayani pemerintahan dengan harus memenuhi keinginan hawa nafsu pemerintah semata. 
Pemerintahan dibentuk tidaklah untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya untuk mencapai tujuan bersama. Juga pemerintahan modern selalu identik dengan pemerintahan yang demokratis, yaitu suatu pemerintahan negara yang dibentuk oleh, dari dan untuk rakyat. Dalam artian pemerintahan demokratis merupakan suatu pemerintahan dimana warga negaralah sesungguhnya otoritas atau kewenangan suatu pemerintahan berasal.
Sebenarnya sejak tahun 2000, pemerintah sudah tiga kali merevisi peraturan itu. Awalnya adalah PP No. 110 tahun 2000, dianggap tidak memberi kesejahteraan memadai. Inilah yang menyebabkan beberapa anggota melanggar dengan mengalokasikan anggaran yang semestinya tidak menjadi haknya. Akibatnya, banyak yang terjerat kasus korupsi. Salah satu contohnya yang menimpa para dewan Ciamis dengan kasus korupsi anggaran di DPRD Ciamis periode 1999-2004 yang saat ini disidik Kejaksaan Negeri (Kajari) Ciamis dalam penggunaan anggaran tahun 2001 dan 2002. Dan sampai 2005 terdapat dugaan korupsi DPRD provinsi 324 kasus, dan DPRD kota/kab 738 kasus. 
Atas kejadian itu para Anggota DPRD kemudian meminta peraturan itu direvisi. Maka lahirlah PP No. 24 tahun 2004. Namun, PP ini juga dianggap belum mampu menyejahterakan anggota DPRD karena tunjangan perumahan dan kesehatan tidak memadai. Ketentuan ini kembali direvisi dengan memasukkan dua tunjangan dalam PP No. 37 tahun 2005. Tambahan tunjangan ini ternyata juga tidak membuat wakil rakyat puas. Mereka masih minta tunjangan lain, seperti tunjangan komunikasi, yang kemudian diatur dalam PP 37 tahun 2006 yang saat ini malah juga diributkan.
Dengan keluarnya peraturan tersebut, secara otomatis pendapatan anggota dewan akan meningkat secara signifikan, walaupun jumlah anggaran dana di setiap daerah tidak bisa mencukupi untuk membayar tunjangan anggota dewan tersebut. Karena aturan ini mengatur satu ukuran dana tunjangan, artinya daerah yang kaya maupun yang miskin sama membayar tunjangan para wakil rakyat. Sungguh dalam hal ini pemerintah telah memperlihatkan ketidakadilan dan ketidakpatutan. 
Lebih konkritnya, hal itu bisa kita lihat dari apa yang terjadi pada Pemerintah Kabupaten Bantul, Yogyakarta baru saja mempublikasikan RUU APBN 2007. Di situ terlihat belanja pegawai sebesar Rp 430 miliar (tidak langsung) dan Rp 33 miliar (langsung). Bandingkan dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Bantul yang cuma Rp 42 miliar. Dari sini terlihat bahwa kemampuan daerah saja bahkan tidak cukup untuk membayar belanja pegawai. Apalagi untuk membayar tunjangan rapelan. 
Belum lagi untuk membiayai program-program yang bertujuan untuk memajukan rakyat di daerah. Barangkali, kalau daerah memiliki saldo kas yang mencukupi, membayar tunjangan tersebut tidak akan mengganggu agenda kegiatan yang sudah dianggarkan di APBD. Memang ada beberapa daerah yang cukup mandiri seperti DKI Jakarta dengan PAD Rp 8,6 triliun. Juga propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, kabupaten/kota Kutai Kertanegara, Bengkalis, Siak, Surabaya, dan Kota Rokan Hilir.
 
Tapi repotnya, banyak daerah yang sulit membayar karena PAD yang diperoleh sangat sedikit. Di Pakpak Bharat, Sumatera Utara, mereka harus membayar tunjangan Rp 3 miliar padahal cuma memiliki PAD Rp 1 miliar. Sebagian besar daerah lain tergolong rendah kemampuan keuangannya, semisal Sulawesi Barat, Maluku Utara, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, juga kabupaten/kota Padang Panjang, Fakfak Barat, Blitar, Kabupaten Lembata, dan Tumohon. Di Bangka Belitung belanja DPRD-nya bahkan mencapai 12,25% dari total belanja pegawai negeri. Di Irjabar malah mencakup 45% dari total belanja pegawai negeri. (Pikiran Rakyat, 15 Februari 2007)
Jadi dari aturan ini setiap daerah harus membayar tunjangan gaji para dewan tanpa melihat keadaan PAD-nya tercukupi atau tidak, karena daerah yang satu dengan yang lainnya memiliki PAD yang berbeda dalam jumlahnya. Secara teoritis pendapatan asli daerah (PAD) merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah. PAD juga merupakan usaha daerah, guna memperkesil ketergantungan dalam mendapatkan dana dari pemerintah tingkat atas atau istilahnya subsidi. Pada dasarnya PAD seyogyanya ditunjang oleh dari pendapatan perusahaan daerah, perusahaan pasar, pajak reklame, pajak tontonan, retribusi kendaraan dan kebersihan, pajak bumi dan bangunan, serta usaha lainnya. 
Tapi sayang sungguh sayang mengenai pajak masyarakat Indonesia kurang sadar akan pentingnya membayar pajak. Banyak orang menghindar dari wajib pajak, padahal nantinya pajak itu juga bisa bermanfaat baginya. Untuk mengenai rendahnya pada wajib pajak Prof. Soekanto Reksohadiprojo menggambarkan bahwa wajib pajak hanya sekitar 0,75% dengan jumlah penduduknya 200 juta jiwa. Bandingkan dengan negara India yang jumlah penduduknya satu miliar wajib pajaknya 2%. Padahal pendaptan domestik bruto perkapita India $ 450 dan Indonesia lebih besar yaitu berjumlah $580, tapi hanya 0,75% saja yang sadar akan pajak.[1]
Dan untuk mengatasi peroblem tersebut harusnya diperlukan kebijakan untuk merombak administrasi dan manajemen perpajakan dengan melakukan upaya-upaya seperti, melakukan sosialisasi dan kampanye perihal fungsi dan makna pajak bagi pembangunan negara khususnya pendapatan negara. Ini perlu diupayakan agar memperluas kesadaran akan pajak bagi masyarakat, sehingga terjadinya penambahan kuantitas wajib pajak. 
Langkah berikutnya menerangkan pada pola pikir masyarakat bahwa pajak merupakan pendapatan negara dan melakukan restrukturisasi dan birokratisasi terhadap fungsi kantor-kantor perpajakan yang berada di daerah-daerah dengan mengkaitkannya pada pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah.[2]

WUJUD PEMERINTAHAN NEGARA IDEAL
Atas relitas yang terjadi dibeberapa daerah yang masih karut marut pendapatannya, sudah sepantasnya pemerintah daerah berfikir logis untuk tidak memaksakan membayar tunjangan tersebut. Apalagi kemampuan keuangan daerah jelas tidak memungkinkan. Bila memang pemerintah menganggap PP 37 tahun 2006 ini sebagai kewajaran maka, sungguh dalam hal ini pemerintah telah memperlihatkan ketidakadilan. Dan bisa saja akan timbul dampak yang tak diinginkan. Misalkan, akan terciptanya suatu situasi dan kondisi masyarakat yang anarkis serta tidak memiliki kepercayaan pada penyelenggara pemerintahan dan aturan hukum yang berlaku.
Terlebih lagi pendapatan negara yang nyata-nyatanya sebagai anggaran publik ternyata hanya untuk dimanfaatkan oleh segelintir kalangan pejabat negara saja, bagaimana dengan para buruh, guru, pengusaha, dan rakyat kecil lainnya, juga membutuhkannya. Padahal tunjangan yang diatur dalam PP 37 tahun 2006 tersebut itu diambil dari anggaran yang bersifat publik.
Sebagaimana kita ketahui, anggaran bagi sektor publik meliputi anggaran bagi sebuah negara, suatu daerah otonom atau badan usaha milik negera atau akan lebih mudah disebut dengan anggaran publik. Makna anggaran publik adalah suatu kebijakan publik tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa yang lalu.
 
Pada mulanya fungsi anggaran publik adalah pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara atau daerah otonom untuk satu periode di masa yang akan datang, namun karena sebelum anggaran publik dijalankan harus mendapatkan persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat maka anggaran publik berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap kebijakan publik yang dipilih oleh pemerintah. Selain itu karena pada akhirnya setiap anggaran publik harus dipertanggunjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada lembaga perwakilan rakyat, berarti anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah dipilihnya. 
Dengan melihat fungsi anggaran publik diatas, maka anggaran publik harus dilihat sebagai power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat sendiri. Bagi rakyat yang harus dilakukan adalah memantau arah dari prioritas kebijakan yang dibuat pemerintah satu tahun mendatang yang akan dinyatakan dalam bentuk nominal dalam anggaran. Tujuan pemantauan prioritas adalah memantau apakah prioritas kebijakan efektif untuk kepentingan rakyat banyak atau tidak. Sehingga bisa menciptakan iklim pemerintahan yang baik dan berdaya guna.
Untuk itulah dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance) dan berdaya guna harus memiliki orientasi, yaitu pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Hal ini mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy (apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya), accountability (akuntabilitas), securing of human right (perlindungan hak), autonomy and devolution of power, dan assurance of civilian control.
 
Kedua, orentasi pemerintahan yang berfungsi ideal, dalam artian secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Hal ini juga tergantung sejauh mana pemerintahan mempunyai kompetensi dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administrasi berfungsi secara efektif dan efisien.
Sebenarnya strategi ideal sistem pemerintahan yang Good Governance sudah ditawarkan oleh Islam sejak 1500 tahun yang lalu. Ketika itu nabi Muhammad SAW sang pembawa risalah Islam menanamkan prinsip pemerintahan ideal dalam sistem pemerintahannya di Madinah. 
Dalam hadis beliau bertutur, "Berjanjilah kepadaku bahwa kamu akan mengerjakan enam perkara, niscaya aku jamin kamu masuk surga: pertama, berkata benar. Kedua, tepatilah apabila kamu berjanji. Ketiga, tunaikanlah apabila diamanatinya. Keempat, jagalah kehormatanmu. Kelima, tundukanlah pandanganmu (terhadap wanita). Keenam, hentikanlah lancang tanganmu (jangan suka memukul orang)". (HR. Ahmad)[3]
Bila menghayati pesan-pesan nabi tersebut, saya kira sistem pemerintahan yang ideal pasti terwujud dan ini tergantung pada para penyelenggara pemerintahan. Jadinya para pejabat negara dari tingkat eksekutif, legislaif sampai yudikatif dalam hal ini haruslah berkata benar dalam tutur katanya, sehingga tidak menimbulkan intrepetasi yang menyimpang dari kemaslahatan. 
Lalu pejabat negara haruslah menepati janjinya, misalnya presiden atau para legislator ketika sebelum menjabat sebagai pejabat negara melakukan kampanye-kampanye politik agar nantinya bisa terpilih. Dari kampanye yang dilakukan, telah menjanji-janjikan perubahan yang lebih baik dari sistem pemerintahan yang sebelumnya. Untuk itulah ketika terpilih menjadi pejabat negara, janji-janji yang digembor-gemborkan di masa kampanye dahulu patutnya untuk menepati janji-janjinya di dalam pemerintahannya.
Kemudian mengenai menjalankan amanat, pejabat negara haruslah memiliki sikap tanggung jawab besar atas jabatan yang diamanahkannya. Misalkan seorang presiden diamanahkan menjalankan pemerintahan maka jalankan dengan penuh tanggung jawab, seorang legislator bertugas menyusun aturan perundang-undangan maka susunlah aturan perundang-undangan penuh dengan tanggung jawab kepada rakyat dan Allah SWT.
Berikutnya mengenai menjaga kehormatan. Seorang pejabat negara bersikap menjaga kehormatanya dihadapan Allah SWT dan rakyanya sangat diperlukan karena tanpa ini semua kewibawaan jabatan yang diembannya akan rapuh. Jangan sampai pejabat negara merusak citra amanahnya dengan melakukan hal-hal yang tidak etis, seperti berkorupsi, melakukan mesum tanpa ikatan perkawinan, melanggar aturan konstitusi, bersikap premanisme dalam kinerjanya. Bila ini terjadi pada setiap pejabat negara maka sistem Good Governance yang diharapkan hanya sebatas impian yang tak terwujud.
Kemudian pejabat negara haruslah menundukan pandangan pada hawa nafsu dunia sesaat. Jangan sampai terjebak oleh nafsu setan yang selalu saja mengahantui setiap saat karena kalau sampai terjebak seperti demikian maka suatu saat pemerintahan tidak akan memiliki kewibawaan dan kinerja yang baik. Dalam kasus seperti ini pernah juga terjadi pada salah satu anggota legislatif (DPR RI). Karena terpikat wanita, anggota DPR tersebut terjebak oleh jebakan nafsu setan dengan melakukan perbuatan yang tidak senonoh, yaitu berbuat mesum yang bukan karena ikatan suami istri, terlebih lagi perbuatan itu tersebar ke khalayak umum melalui video rekaman. 
Dengan kejadian ini tentunya telah membawa dampak yang buruk bagi institusi legislatif tersebut, yang tadinya memiliki kewibawaan dan kepercayaan rakyat, kini rakyat berbalik arah menganggap tidak berwibawa dan tak mempercayai institusi legislatif. Tentunya atas kejadian ini bisa membahayakan wujud iklim sistem demokrasi dan pemerintahaan yang apik dan bermartabat. 
Lalu yang terakhir nabi berpesan pada penyelenggara negara yang dalam hal ini sebagai pelayan rakyat untuk selalu dalam kinerjanya harus menghindari dari sikap-sikap kekerasan atau istilah konotasinya premanisme. Segala hal yang berhubungan dengan menjalankan amanah rakyat diselesaikan dengan kepala dingin dan bermusyawarah. Hal ini pun tertuang dalam al-Quran, Asy-Syura ayat 38.
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka".

PP 37 TAHUN 2006 KEBIJAKAN TAK MERAKYAT
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan adalah regulasi yang koruptif karena dipandang membuka banyak celah korupsi. Pemerintah Daerah dengan demikian dipaksa untuk menyisihkan sebagian dari anggarannya untuk penghasilan anggota DPRD ketimbang untuk pemenuhan layanan publik. Menurut Danny Indriana PP No 37 tahun 2006 ini merupakan kategori perbuatan tindak pidana korupsi, yaitu jenis korupsi diskresi, dimana korupsi yang lahir dengan tameng penyalahgunaan kebijakan bebas yang dimiliki aparatur negara. PP No 37/2006 bisa dikualifikasikan sebagai bentuk korupsi diskresi karena unsur-unsur korupsi seperti perbuatan melawan hukum, memperkaya orang lain, dan merugikan keuangan negara.
Memang masalah korupsi di Indonesia sudah lama bercokol dan inilah yang menjadi penyebab krisis Indonesia tak kunjung usai. Korupsi sama dengan bencana karena menyesengsarakan rakyat. Keuangan negara terkuras sia-sia karena rakusnya para penyelenggara negara. Lain halnya dengan pendapat Salomo Simanungkalit dan Indrawan Sasongko bahwa korupsi itu menghambat pembangunan dan perkembangan kegiatan usaha. Korupsi menimbulkan harga kebutuhan ekonomi membumbung tinggi. Kalangan usaha dalam berinvestasi sangatlah rumit, sebab setiap proses ekonomi harus melewati pintu yang namanya korupsi (Kompas, 17/03/2002)
Bahkan beberapa Lembaga Sosial Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak PP No. 37/2006 memandang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak pantas menerima kenaikan tunjangan. Lembaga itu diantaranya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Indonesian Corruption Watch (ICW), dan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengkritik adanya tambahan detail tunjangan yang berupa tunjangan komunikasi dan dana operasional. Lantaran dua tambahan tersebut, FITRA memprakirakan kenaikan take home pay berkisar antara 6 sampai 18 juta rupiah untuk DPRD Kabupaten Kota dan Rp 9 sampai Rp 27 juta untuk DPRD Provinsi, dengan asumsi tiap anggota DPRD juga merupakan anggota komisi dan panitia musyawarah.
Kenaikan ini, FITRA menyayangkan, diberlakukan secara seragam kepada seluruh daerah di Indonesia tanpa memperdulikan kemampuan masing-masing. Maka FITRA menuding Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan adalah ‘regulasi yang koruptif karena dipandang membuka banyak celah korupsi. Pemerintah Daerah dengan demikian dipaksa untuk menyisihkan sebagian dari anggarannya untuk penghasilan anggota DPRD ketimbang untuk pemenuhan layanan publik. (HukumOnline.com, 10/01/2007)
Dalam pandangan Islam perbuatan korupsi sangatlah dikecam karena merugikan banyak pihak. Kegiatan korupsi di kalangan para penguasa negara sama saja memiskinkan rakyatnya secara perlahan-lahan. Uang yang berada pada anggaran negara hakikatnya merupakan milik Allah yang diamanatkan kepada pemerintah atau negara bukan untuk penguasa melainkan untuk diberdayakan bagi kemaslahatan keseluruhan masyarakat. Setiap pendapatan negara harus dipertanggung jawabkan oleh penyelenggara negara kepada Allah diakhirat nanti dan pertanggung jawaban kepada rakyat di dunia.
Hal ini Rasulullah bersabda:
اءطو هم حقهم فا ن الله سا ئلهم ءن ما استر ءا هم
Artinya: "Berikanlah hak-hak mereka (rakyat), karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung jawaban setiap penguasa perihal hal-hal rakyatnya" (HR. Bukhari)
 
Tentang melawan hukum, aturan dalam PP banyak sekali ditemukan kejanggalan-kejanggalan yang tak etis. Seperti, yang diutarakan oleh Ali Anshori direktur Semesta Institute Semarang bahwa dalam Pasal 192 ayat 4 UU No 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa kepala daerah, wakil kepala daerah, pimpinan DPRD, dan pejabat daerah lainnya dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD. Menafsiri pasal itu maka secara tidak langsung menyebutkan bahwa anggaran negara haruslah lebih memihak pada kepentingan publik dan tidak hanya menyangkut untuk kepentingan segelintir orang.
Jika PP 37 tahun 2006 diterapkan maka struktur anggaran yang tidak memungkinkan daerah menopang kebijakan peraturan ini, kemungkinan besar membawa konsekuensi turunnya alokasi belanja publik. Alasannya, tidak mungkin belanja rutin daerah yang merupakan sesuatu yang tetap setiap tahun harus dikorbankan untuk membayar gaji DPRD. Bayangkan saja dengan terbitnya PP ini gaji menjadi naik tak wajar. Tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional yang bakal diterima pimpinan DPRD masing-masing sebesar Rp18,9 juta (ketua) dan Rp13,02 juta/bulan untuk wakil ketua. Sedangkan anggota mendapatkan tambahan sebesar Rp6,3 juta/bulan. Jumlah itu berdasarkan perhitungan tiga kali uang representasi ketua DPRD sebesar Rp2,1 juta dan wakil ketua Rp1,6 juta.
Padahal dalam pandangan Islam, uang negara yang sebagian besar dari pajak sebagai uang Allah, haruslah diberdayakan sejujur-jujurnya sesuai dengan petunjuk Allah, yakni bagi kemaslahatan segenap rakyat dengan memprioritaskan kaum fakir miskin, apapun agama, warna kulit maupun sukunya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
"Sungguh segala macam sedekah (zakat) adalah kepentingan kaum fakir, kaum miskin, Amilun pajak yang tengah dalam proses penyadaran kembali, kaum tertindas, yang tertindih hutang. Kepentingan umum dan penegakan keadilan. Anak jalan....suatu ketetapan dari Allah, Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana." (QS.at-Taubah ayat 60)
 
Jelas sudah kita lihat bahwa fenomena keluarnya PP 37 tahun 2006 tersebut merupakan contoh pejabat negara yang tak memiliki sikap kebijaksanaan terhadap rakyatnya. Kalau meminjam istilah dari Toto Suprapto, "rakyat telah kehilangan negara". Artinya rakyat dan negara kini bukan lagi kesatuan. Banyak kebijakan-kebijakan negara tak bersentuhan dengan kepentingan rakyat. Negara memiliki jalan tersendiri, dilain hal rakyatnya pun memilih jalan lain. Dan apa yang terjadi, belakangan ini sering rakyat berbuat anarki dan bila ini dibiarkan berlarut-larut, anarkisme semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu ada baiknya para pengelola negara introspeksi diri dan segera kembali ke jalur sistemnya yakni berpikir keras mewujudkan kesejaherahan rakyat. Bukan berpikir keras untuk melanggengakan kekuasaan atau segelintir orang. (Kompas, 16/03/2007)
 
Kalau kita melihat fenomena yang ada, PP 37 tahun 2006 merupakan kebijakan atau pembuatan keputusan yang dinilai tidak merakyat karena disebabkan banyak sekali ditemukan nilai-nilai yang melanggar hak-hak rakyat dan ini dirasa sangat memberatkan rakyat Indonesia yang tengah mengalami berbagai krisis yang belum terpecahkan. Jelas sekali dalam Islam hal demikian sangatlah dikecam, karena seharusnya pemerintah selaku penyelenggara negara harus memberdayakan dan melindungi seluruh rakyat tanpa memandang suku, agama, idiologi, warna kulit atau pun jenis kelamin. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
من ا د ى د ميا فقد ا دا ني الا من ضلم مءا هدا او انتقص او كلفه فو ق طا قته او اخد شيئا بغير طيب النفس منه فا نا حجيجه يو م ا لقيا مة
Artinya: "Barangsiapa yang menyakiti orang dzimmy maka sama saja dengan menyakiti saya; ...ketahuilah barangsiapa yang menzalimi oran mu'ahid atau mengurangi hak-haknya atau membebani suatu yang tidak mampu dipikulnya, atau mengambil suatu tanpa kerelaan hatinya (menjarah), maka saya (Nabi)lah yang akan menghadapinya di hari kiamat.... (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)
 
Oleh karenanya PP 37 tahun 2006 merupakan kebijakan pemerintah yang tak memiliki tujuan dalam memecahkan masalah. Negri yang kini karut marut tertimpa berbagai bencana tak selayaknya para Dewan Legislatif Daerah memakai pos anggaran publik untuk tunjangan dan dana oprasional. Karena kabarnya bila aturan ini berjalan maka pimpinan DPRD masing-masing mendapat Rp18,9 juta (ketua) dan Rp13,02 juta/bulan untuk wakil ketua. Sedangkan anggota mendapatkan tambahan sebesar Rp6,3 juta/bulan. Jumlah itu berdasarkan perhitungan tiga kali uang representasi ketua DPRD sebesar Rp2,1 juta dan wakil ketua Rp1,6 juta. Jelas sikap demikian telah jauh dari pengertian dari kebijakan, dimana tadinya bertujuan memecahkan masalah kini malah menambah masalah menjadi lebih besar. 
Bila kita lihat pengertian kebijaksanaan menurut pakar seperti James E. Anderson bahwa kebijaksanaan merupkan serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Dan secara khusus kebijaksanaan negara berarti kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai implikasi.[4], yaitu:
Pertama, kebijaksanaan negara itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupkan tindakan yang berorientasi pada tujuan. Bila kita lihat PP 37 tahun 2006 ini merupakan kebijakan dari pemerintah dengan tujuan memberikan Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Belanja Penunjang Operasional (BKO) setiap bulannya kepada pimpinan maupun anggota DPRD. Namun, besarnya tunjangan yang diterima tidak disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah (KKD) masing-masing. Bagaimana dengan daerah yang pendapatan daerahnya minim, tentu hal ini memberatkan daerah tersebut. Apalagi bila daerah tersebut terus dilanda bencana, seperti kelaparan, rendahnya tingkat pendidikan, kerusakan lingkungan dan bencana-bencana lainnya. Sehingga bila dilihat aturan ini tidak memiliki tujuan dalam memecahkan permasalahan.
 
Kedua, kebijaksanaan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pejabat pemerintah. Tentunya dengan PP ini pejabat DPRD dalam hal ini, menurut ADKASI mempunyai tindakan yang berkeinginan kuat dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah yang transparan, partisipatif dan akuntabel. Akan tetapi Agung Laksono yang didampingin Wakil Ketua DPR Zaenal Ma’arif, Ketua Komisi II EE Mangindaan dan Wakil Ketua Komisi II Priyo Budi Santoso, menyatakan aturan ini tetap diberlakukan dengan catatan. Beberapa pasal yang menimbulkan multi tafsir agar dikaji lebih mendalam. Dicontohkan, pasal yang menimbulkan ragam tafsir itu diantaranya Pasal 14 huruf D yang mengatur soal rapel tunjangan. (Sinar Harapan, 1/03/2007)
Ketiga, kebijaksanaan itu adalah merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu. Dalam hal ini pemerintah bermaksud mengeluarkan PP 37 tahun 2006 untuk melakukan pemudahan pengelolaan keuangan daerah dan peningkatan kinerja para dewan. Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) M. Ma’ruf dalam Rapat Kerja dengan Komisi II DPR.
Keempat, kebijaksanaan itu bermaksud menunjukan pada suatu hal positif dan negatif. Maksud positif berupa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu sedangkan yang negatif, keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. Bila melihat PP ini pemerintah mengeluarkan kebijakan ini adalah untuk melakukan sesuatu hal positif, yaitu memudahkan pengelolaan keuangan daerah dan peningkatan kinerja. Tetapi yang menjadi permasalahan aturan ini masih belum sinkron dengan niatan baik pemerintah. 
Kelima, bahwa kebijaksanaan pemerintah didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan dan bersifat memaksa atau otoritaif. Tetapi permasalahanya PP ini jelas sekali keluar dari sistem peraturan perundang-undangan yang ada. Misalnya saja, menurut Danny Indriana pakar hukum pidana UGM, menyatakan di pasal 14 D yang memberlakukan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional dibayarkan mundur sejak 1 Januari 2006, jelas bertentangan dengan UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Butir 107-nya mengatur penentuan daya laku surut tidak diadakan bagi peraturan yang memberi beban pada masyarakat.
Kenapa bisa demikian, karena dana yang disahkan pada APBD 2007 tidak akan bisa mengalokasikan tunjangan DPRD untuk dibayarkan mulai Januari 2006. Berdasarkan Pasal 4 UU No 17 Tahun 2003, Pasal 179 UU No 32 Tahun 2004, Pasal 68 UU No 33 Tahun 2004, dan Pasal 11 UU No 1 Tahun 2004, menyebutkan bahwa tahun anggaran APBD adalah 1 tahun anggaran, yakni mulai dari 1 Januari - 31 Desember. Artinya, APBD 2007 tidak akan bisa mengalokasikan anggaran untuk pembayaran tunjangan komunikasi dan dana operasional tahun 2006.
Kalau kita lihat kenapa suatu kebijakan bisa dikatakan menimbulkan kontroversi dan dinilai gagal oleh masyarakat luas karena memang tidak mencapai hasil atau memperoleh dampak yang diharapkan. Biasanya tidak tercapainya tujuan kebijakan disebabakan oleh adanya faktor-faktor, seperti[5]:
a). Tersedianya sumber-sumber yang terbatas, baik tenaga, biaya, material, waktu dan sebagainya, sehingga dampak yang diharapkan tidak tercapai. Banyak program-program pembangunan terbengkalai karena kekurangan dana dan sebagainya.
b). Kesalahan dalam pengadministrasian kebijaksanaan-kebijaksanaan negara. Betapapun baiknya isi kebijakasanaan negara, kalau tidak diadministrasikan dengan baik akan sulit mencapai dampak yang diharapkan.
c). Problema-problema publik seringkali timbul karena adanya pelbagai macam faktor, sedangkan kebijaksanaan seringkali dirumuskan hanya atas dasar salah satu dan sejumlah kecil faktor-faktor tersebut. Dengan sedikitnya faktor-faktor yang dipertimbangkan tersebut, akan berakibat sulitnya kebijaksanaan itu memberikan dampak yang duharapkan.
d). Masyarakat memberikan respon atau melaksanakan kebijaksanaan negara dengan cara-caranya sendiri sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan dampaknya. Atau dengan kata lain, kalau implementasi kebijaksanaan negara itu dilaksanakan tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk pelaksanaan, maka dampaknya akan semakin jauh dari yang diharapkan.
e). Adanya beberapa kebijaksanaan negara yang mempunyai tujuan bertentangan satu sama lain. Misalnya kebijaksanaan pemerintah tentang pembinaan mental masyarakat disatu pihak bertentangan dengan kebjaksanaan pemerintah yang lain.
f). Adanya usaha-usaha untuk memecahkan beberapa masalah tertentu yang memakan biaya lebih besar dari masalah-masalahnya sendiri.
g). Banyaknya problema-problema publik yang tidak dapat dipecahkan secara tuntas. Dan juga terjadinya perubahan sifat permasalahan ketika kebijaksanaan sedang dirumuskan atau dilaksanakan. Serta adanya masalah-masalah baru yang lebih menarik dan dapat mengalihkan perhatian orang dari masalah-masalah yang telah ada.

Islam dan Perumusan Kebijakan Negara yang Berkeadilan
Negara Indonesia merupakan negara yang Berketuhanaan Yang Maha Esa, hal ini tertulis dalam Pancasila sila pertama. Dengan pencantuman tersebut berarti sistem kehidupannya selalu dilandasi nilai moralitas religius. Tetapi sangat disayangkan hal ini baru hanya sebatas indah diatas kertas, yang pada kenyataannya masyarakat Indonesia kini telah banyak meninggalkan aspek-aspek nilai religi. Banyak dari masyarakat Indonesia telah terjerembab oleh budaya materalisme, hedonisme, dan kapitalisme liberal yang pada akhirnya bencana datang bertubi-tubi. 
Memang ironis sekali, kehidupan beragama pada tataran ritual dengan segala sarana dan prasarananya menunjukan tingkat perkembangan yang pesat. Misalkan pembangunan tempat-tempat ibadah, dan kajian keagamaan menjamur diberbagai daerah. Bahkan kini pun banyak sekali media elektronik maupun cetak menayangkan acara yang bernuansa religi. Sedangkan dalam tataran bidang legislasi pun banyak aturan perundang-undangan yang mengilhami muatan nilai-nilai agama. 
Namun demikian, realitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara rata-rata menunjukan prestasi yang secara keseluruhan tak menggembirakan. Semarak kehidupan beragama tak terbukti sama sekali memiliki korelasi positif pada peningkatan kualitas akhlak dan moralitas umat dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Contohnya saja mengenai korupsi semakin merajalela menjangkiti para pejabat aparatur negara. Memang mengenai korupsi sudah lama mengakar dan membudaya, bahkan rezim orde baru berkuasa selama 32 tahun runtuh oleh karena para perilaku pejabat negara yang korup.
Seperti diketahui masalah ketidakadilan dan kezaliman yang paling massif dan universal adalah kezaliman yang dilakukan oleh negara melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Banyak yang terjadi malah kebijakan negara untuk kepentingan para penyelenggara negara, rakyat yang sebagai raja malah tereliminir. Hak-hak rakyat selalu saja dirampas oleh penguasa negara karena demi kepentingan para pejabat negara tersebut atau mungkin juga dalam membuat kebijakannya mengalami kesalahan-kesalahan dalam pembuatannya.
Kesalahan itu biasanya karena pembuat kebijakan cara berpikirnya sempit. Kecenderungan manusia membuat keputusan hanya memenuhi kebutuhan seketika sehingga melupkan antisipasi ke masa depan. Dan adanya linkungan pemerintahan yang beranekaragam telah menyebabkan pejabat pemerintah sering membuat keputusan dengan dasar-dasar pertimbangan yang sempit dengan tanpa mempertimbangkan implikasinya ke masa depan. Seringkali pula pembuat keputsan hanya mempertimbangkan satu aspek permasalahan saja dengan melupakan kaitannya dengan sapek-aspek lain, sehingga gagal mengenali problemnya secara keseluruhan.[6]
Dalam hal ini misalnya mengenai pemberian tunjangan komunikasi dan dana oeprasional kepada anggota DPRD sesuai PP No 37 tahun 2006 akan menguras pos belanja publik. Dana itu akan diambil dari pendapatan asli daerah dan APBN, sebab tidak mungkin diambil dari pos lain. Implikasinya akan menguras dana daerah. Anggaran ke DPRD bersumber dari APBD yang juga sumbernya berasal dari PAD dan pusat. Artinya akan mengurangi pos belanja publik. Pengamat pemerintahan lokal dari LIPI, Syarif Hidayat, menyikapi PP 37 tahun 2006 ini, kalau dilihat dari aspek legal formal dan persoalan idealis harus bisa dibedakan. Secara legal formal DPRD tidak salah menerima Rapelan, karena itu memang didukung aturan. Tapi, dari asas kepatutan, tentu berdampak berlebihan, karena menguras APBD. (Sinar Harapan, 01/03/2007)
Oleh karenanya dalam membuat kebijakan haruslah memenuhi etika yang mendasar. Etika dalam pengambilan keputusan diperlukan demi penegakan hukum dan melindungi yang lemah. Etika dalam mengambil keputusan di Islam terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban. Artinya kewajiban dilaksanakan dahulu baru dituntut haknya kemudian. Hak kepada orang lain bersifat perintah atau larangan wajib dipenuhi. Kewajiban terhadap perintah atau larangan wajib dilaksanakan oleh setiap individu. Hal ini tertuang dalam al-Quran:
"Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Nissa ayat 30)

"Dan di antara orang-orang yang kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan." (QS. A'araf ayat 181)
 
Dari ayat-ayat tersebut diatas Islam menganjurkan dalam setiap kebijakan haruslah terdapat prinsip yang harus dipegang oleh setiap umat. Prinsip itu diantaranya mendahulukan kewajiban kepada Allah, manusia, dan alam sekitarnya. Meminta hak atas jerih payah yang telah dilakukan harus setimpal dengan pekerjaan yang diperbuatnya. Dilarang menuntut hak sebelum melaksanakan kewajiban, menghormati hak orang lain dengan berbuat ma'ruf kepadanya, menghargai hak miliknya dan menghargai kewajibannya, mendahulukan kewajiban dan menuntut haknya berarti telah menegakan keadilan.[7]
Kenapa suatu kebijakan haruslah memenuhi prinsip-prinsip tersebut. Apakah penting sekali unsur-unsur tersebut dalam setiap mengeluarkan kebijakan harus terdapat unsur-unsur demikian. Tentu jelas sekali bahwa hal demikian sangatlah penting. Bagaimana halnya manusia memerlukan oksigen dalam bernafas. Tanpa hal itu bisa saja akan timbul kemudharatan. Bukannya membawa kesuksesan malah yang ada timbulnya kerusuhan sosial dan tanpa disangka bisa-bisa negri ini bisa "bubar". Memang kebijakan para pejabat negara seperti halnya PP 37 tahun 2006 perlu dimasak matang-matang agar nantinya hal-hal yang negatif bisa terhindarkan. 
Kenapa juga suatu kebijakan terutama yang dikeluarkan oleh para pejabat negara bisa memiliki daya magnet terhadap kehidupan bermasyarkat dan berbangsa. Keadilan dalam prespektif Islam merupakan sistem yang paling dapat dibanggakan. Tidak terdapat dalam sistem hukum positif mana pun yang mendekat sistemnya dalam Islam. Sebab keadilan dalam Islam merupakan dasar kekuasaan. Keadilan sebagai alasan pembenaran adanya semua lembaga dan perangkat negara dan asas diberlakukannya perundang-undangan, hukum, dan seluurh ketetapan juga tujuan segala sesuatu yang bergerak di negara dan masyarakat Islam. 
Sehingga, tidak terdapat sesuatu pun dalam sistem ini melainkan bertitik tolak dari keadilan dan upaya meralisasikannya. Keadilan merupakan alasan dalam bentuk penetapan hukum apa pun, landasan berdirinya hukum apa pun, dan tujuan yag diinginkan dari pengambilan ketetapan apa pun. Bahkan keadilan adalah hukum seluruhnya, yang tanda-tandanya tampak dalam agama dan syariat.[8]
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." ( An-Nisaa' ayat 58)
 
Oleh karenanya setiap kebijakan negara haruslah bersumber pada nilai-nilai keadilan, yang salah satu caranya kebijakan tersebut memenuhi akan kebutuhan masyarakat secara luas tanpa bersikap tebang pilih. Dalam ushul fiqh mengenai ini terdapat konsep pemikiran bahwa setiap pejabat yang menjabat dalam suatu pemerintahan haruslah kebijakan yang dikeluarkan harus memenuhi keinginan masyarakat banyak sesuai dengan kesepakatan yang mufakat.
تصر ف الاما م ءل الر ءية منو ط ب امصلحة
Artinya: "Seluruh kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyat haruslah selalu bersumber kepada kepentingan mereka". 
Kesimpulan dan Saran
Keluarnya PP 37 tahun 2006 yang dinlai oleh masyarakat luas sebagai aturan atau kebijakan dari pemerintah yang menimbulkan kontroversi karena aturan dinilai tidak memiliki muatan keadilan sosial, lebih baik dikaji ulang terutama hal-hal yang dirasa menimbulkan ketidakadilan di masyarkat . Misalkan saja rakyat Indonesia yang kini sedang tertimpa berbagai bencana dan penderitaan yang tak kunjung usai dipaksa anggaran keuangan negaranya untuk membayar gaji dan tunjangan para dewan legislatif. Seharusnya anggaran negara yang diprioritaskan bagi kepentingan publik untuk rakyat malah ini untuk kepentingan segelintir elit politik tertentu.

[1] Warsito Utomo, Dinamika Administrasi Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal 220
[2] Ibid, hal 221
[3] Drs. Badri Khaeruman, M.Ag. Moralitas Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2004, hal 255-266
[4] James E. Anderson, Publik Policy Making, New York: Holt, Rinheart and Winston, 1979, hal 3
[5] Poin-poin tersebut merujuk pada Dr. M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2004 117-119
[6] Ibid, hal 28
[7] M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006, hal 660
[8] Dr. Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta: Pustaka al-kautsar Grup, 2004, hal 97-98

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAYJEN TNI SONHADJI INGIN MENGAJAR

Menekuni Profesi Dosen Lemhanas Pagi yang cerah, menjadi tanda pembuka sejarah baru bagi Kodam VI Mulawarman. Markas Kodam yang berada di bilangan Jalan Jenderal Sudirman Kota Balikpapan ini kedatangan sosok pria gagah yang digadang-gadangkan menjadi Panglima Kodam Mulawarman yang bakal menggantikan Mayjen TNI Sonhadji.   Menyambut kedatangan calon Pangdam tersebut, sejumlah prajurit dan pegawai negeri sipil di lingkungan Kodam Mulawarman menyelenggarakan seremonial barisan pedang pora dengan iringan musikalitas marching band persembahan Yonzipur 17 Ananta Dharma, Selasa 20 Maret 2018. Calon pangdam yang tiba dimaksud ialah Mayjen TNI S ubiyanto, datang bersama istri ke Kota Balikpapan. Sebelum tiba di Makodam Mulawarman, keduanya telah melakukan ritual tepung tawar di Bandara Udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Balikpapan sebagai makna telah menjadi bagian dari masyarakat Kalimantan Timur.   Dipayungi awan cerah dengan berbalutkan sinar fajar, keramaian di pelatar

WIRAUSAHA MUDA INDONESIA MASIH RENDAH

Wirausaha Muda Indonesia  Masih Rendah FOTO: Pedagang Pasar Taman Kesatuan Bangsa Manado_budisusilo JUMLAH pengusaha muda di Indonesia hanya 0,18 persen dari total penduduk di Tanah Air. Angka itu masih jauh jika dibandingkan dengan Malaysia yang jumlahnya 16 persen dari total populasi penduduk di negeri jiran tersebut. TAK berbeda jauh di Sulawesi Utara (Sulut). Hanya segelintir orang muda yang berani mengadu nasib di sektor usaha. Paramitha Paat misalnya. Setelah selesai kuliah, dia memilih jalankan usaha sendiri. Keputusan tersebut dilakukannya karena dia mengaku tidak suka dengan pekerjaan terikat. "Oleh karena itu, ketika ada teman yang mengajak joint partner saya langsung setuju," ujarnya, Kamis (23/2). Mitha --panggilan akrabnya-- mengatakan, ada keuntungan dan kerugian dalam membuka usaha, namun yang pasti kalau usaha rugi ditanggung sendiri, begitu pula jika untung dinikmati  sendiri. Yang pasti membuka usaha, banyak pelajaran diperolehnya, tidak didapatkan ketika d

DEMI PENGUNGSI NURLELA RELA PUNGUT SAMPAH

Demi Pengungsi Nurlela Rela Pungut Sampah Menjelang sore, cuaca bersahabat. Belasan muda-mudi berkumpul di Kelurahan Danowudu Lingkungan Satu. Remaja yang tergabung dalam Jongfajarklub memanfaatkan waktu ini untuk melaksanakan program Go Green penukaran sampah plastik menjadi uang, untuk serangkaian kegiatan sosial satu di antaranya pengungsi, Sabtu (8/10/2011). Seorang aktivis Jongfajar, Diki Rustam, menuturkan, kegiatan Go Green mengumpulkan sampah-sampah plastik bekas gelas dan botol plastik air mineral. "Kami pungut demi lingkungan bersih," ujarnya kepada Tribun Manado. Teknis kegiatan Go Green yang dilakukan Jongfajar mengumpulkan sampah-sampah di Kota Bitung dan ditampung di Girian Bawah. Sampah dibawa oleh para relawan jongers dari tempat-tempat wilayah rawan sampah. Sudah terkumpul banyak ditukarkan ke bank sampah menjadi uang. "Buat tambahan pembiayaan program pemberantasan buta aksara di masyarakat secara gratis yang kami akan lakukan di warga peng