Langsung ke konten utama

Sudah Tradisi (Sebuah Cerpen)

Sudah Tradisi (Sebuah Cerpen) 
Oleh : Robertus Rimawan Prasetiyo 

Teriakan ampun dari sosok kerempeng yang berguling-guling di lumpur minyak serasa tertelan kemarahan massa, "bakar, bakar, bakarrrr......!!!". Entah siapa yang melakukan tiba-tiba ada sebatang nyala korek terlempar, dan akhirnya,"arrkhhhhh.....arkhhhhh!!!". Obor manusia bercampur dengan jerit pilu seorang anak manusia yang dibakar hidup-hidup. 

Seperti biasa, angin masih bertiup seirama tarian daun, orang berlalu lalang dengan segala kepentingannya. Begitupula denganku mengejar sang waktu yang menurutku terlalu sombong untuk dikalahkan. Ya terlalu banyak tugas yang harus kutuntaskan. Dengan penuh semangat kumasuki sebuah gedung bertingkat yang sangat megah, walaupun kaki mulai memberontak dan terus mengajak untuk diam. Telingaku mulai akrab dengan dering telepon yang bersahut-sahutan. 

Dari lantai dasar kugapai lengan tangga dan naik ke lantai sepuluh. Suatu hal biasa bagi orang lain untuk menggunakan lift tapi suatu hal yang mengerikan bagiku, aku seorang claustrophobia seorang yang memiliki ketakutan luar biasa terhadap tempat sempit dan tertutup. Setelah melewati beberapa lantai, banyak aku baru menyadari banyak yang menggunakan tangga, tapi anehnya sebagian besar berpasangan, mesra, erat.....dan sangat erat, mungkin ini yang dinamakan optimalisasi pemanfaatan sarana dan pra sarana. Ini adalah perjalananku yang kedua di kota metropolitan, tapi untuk kedua kalinya aku hampir kecopetan. "Dasar ceroboh," umpatku. 

Aku tak habis pikir mengapa kereta kelas ekonomi sering menjadi sasaran pencopet, padahal rata-rata adalah penumpang berkantung cekak apalagi sepertiku mahasiswa kampung yang diberi uang jalan pas-pasan, makan saja harus cari warteg yang harganya miring. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Tanpa sadar aku sudah berada di depan gadis yang cocok jadi puteri kraton. Anggun, semampai dengan deretan gigi putih bersih. Balutan blazer warna biru ditambah senyum lesung pipit yang menyejukkan hati. Tanpa sengaja lenganku bersentuhan, seeeerrrr.......jantungku serasa berhenti. 

Saat ini aku merasakan sensasi yang luar biasa. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Tanya dia. Aku tersentak dan mendadak bangun dari tarian imajinasiku. Segera aku memperkenalkan diri dan mengatakan maksud kedatangan. Hmmmmmmmm ternyata pertemuan harus mundur, karena masih ada klien penting, padahal aku sudah janjian seminggu sebelumnya, inilah nasib pers mahasiswa. Kulirik waktu, ternyata masih banyak tersisa, sebaiknya kugunakan untuk persiapan wawancara. 

Sebenarnya interview guide sudah kusiapkan tapi perlu kupelajari ulang agar tak melenceng dari angle yang telah ditentukan. Bisa-bisa pemimpin redaksi marah-marah. Maklum pemimpin redaksi adalah kakak tingkatan dan sudah senior jadi biasa apa yang dilontarkan harus didengar. Pernah aku menulis ulang hasil liputan hingga enam kali, hampir menyerah dan putus asa hingga kudengar ada teman lain yang pernah mengulang hingga sepuluh kali.....ternyata ada yang lebih parah. Sudah tiga puluh menit berlalu dari kesepakatan, tapi aku masih sabar menunggu karena ini seorang narasumber yang paling penting. Tema yang kuabwa tentang korupsi yang merajalela, sebenarnya tema basi tapi hal ini sering terjadi dan endingnya koruptor lolos entah melalui jalur hukum atau melarikan diri. 

Setelah melakukan wawancara dengan tokoh yang terkenal pro dengan koruptor atau setidaknya bersedia membela mati-matian koruptor, kini tinggal narasumber ini. Ia tokoh yang dikenal anti membela koruptor. "Walaupun tugas pengacara adalah membela tapi aku tak sudi membela koruptor yang mengisap uang rakyat," itu kalimat ya sering aku dengar darinya di layar kaca. "Saudara sudah ditunggu di ruangan oleh pak Prakosa," kata receptionist yang cantik itu. Aku terkesiap dan segera beranjak sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Kutenteng kamera dan perlengkapan wawancara,.....ya....aku siap. Seperti biasa, setelah memperkenalkan diri dilanjutkan dengan sedikit basa-basi kemudian masuk pada pokok pembicaraan. 

"Bagaimana menurut bapak tentang korupsi yang sering terjadi?" Tanyaku serius, kemudian melirik recorder, memastikan gulungan berputar dan led merah menyala, sambil bersiap menulis inti-inti pembicaraan. Sesuai dugaan, jawaban yang ia berikan selalu memojokkan sistem yang buruk seperti kasus-kasus korupsi sebelumnya. "Negara bisa kehilangan beberapa triliun gara-gara surat sakti," katanya lantang. Ia juga menambahkan tentang kurang maksimalnya proses transparansi kekayaan dan kontrol ketat terhadap pejabat, sehingga sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan. 

Pernyataannya yang paling menarik adalah tentang rendahnya mental serta moral pejabat. "Di negara-negara barat calon-calon pejabat diprioritaskan punya kekayaan yang melimpah, sehingga potensi untuk melakukan korupsi kecil. Mereka sudah berlimpah kekayaan, mau apa lagi," imbuhnya. Belum selesai tinta kugoreskan, Prakosa kembali mengatakan, kebanyakan pejabat di sini dulunya miskin setelah menjadi kaya raya. "Aneh sekali........ ehh dik mahasiswa tolong pernyataan baru saja ini off the record yah," katanya lirih kemudian menyeka wajah, menutupi mimik kekhawatiran. Pernyataan lain yang tak kalah menarik adalah lemahnya proses hukum terhadap koruptor. 

Menurutnya ada dua analisa, yang pertama karena kurangnya kualitas sumber daya manusia aparat penegak hukum atau memang sengaja diperlambat karena banyak yang terlibat termasuk pelaksana hukum itu sendiri. Pria itu tampak elegan, setelan jas impor berpadu dengan dasi yang konon harganya lebih mahal dari satu unit sepeda motor membuatnya tampil berwibawa. Beberapa kali asap tebal keluar dari hidungnya, meski ruangannya ber-AC ia tetap menikmati cerutu berkualitas. 

"Satu lagi, saat bukti sudah cukup, ternyata pelaku sudah melarikan diri. Tapi ada koruptor yang sudah terpojok dengan bukti dan sudah divonis ia minta banding, pinter ya," ujarnya. Ia menambahkan di tingkat pengadilan lebih tinggi sudah ada jaringan agar pelaku mendapatkan hukuman lebih ringan. "Yah cukup transfer duit berapa beberapa ratus juta bereslah," katanya kemudian tertawa. Aku mulai mengarahkan pertanyaan pada contoh-contoh konkrit dari pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan. Namun sebelum pertanyaan keluar tiba-tiba teleponnya berdering. 

"Ya hallo...... oke thank's," katanya singkat kemudian telepon diletakkan. Ia pun mengambil remote control televisi layar datar kemudian menyalakannya. Tampak seorang reporter yang melaporkan langsung dari tempat kejadian. "......seorang anak usia 11 tahun dibakar massa, karena kepergok warga sedang mencuri ayam. Menurut penuturan ibu korban, anak putus sekolah tersebut nekat mencuri karena tak tega melihat adiknya kelaparan, ditambah lagi....." Klik, televisi langsung dimatikan. "Lagi-lagi eigenrichting," kata Prakosa. "Apa itu pak?" Tanyaku antusias. "Eigenrichting, alias main hakim sendiri," ujarnya.

Istilah tersebut langsung kucatat, asal kata dari Bahasa Belanda itu juga langsung kusimpan dalam memoriku. Terlihat pengacara tersebut merenung, suasana mendadak senyap, tampak lelaki yang berusia empat dasa warsa itu larut dalam kesedihan. " Malang nsaib anak itu, ia tak diberi kesempatan kedua untuk mengubah perilaku, tak heran banyak orang yang suka melakukan korupsi daripada maling ayam," ujarnya. 

Tak berapa lama aku memutuskan untuk undur diri mengingat waktu wawancara tak lagi menarik untuknya. Dalam perjalanan pulang kusempatkan menulis nama Prakosa SH dalam deretan tokoh yang kukagumi setelah Mahatma Gandhi dan Mohammad Hatta. Wawancara tadi sangat berkesan bagiku dan makin menambah kekagumanku terhadap sosok seorang pengacara yang pro rakyat. Keesokan hari aku membaca koran dan seperti dugaanku, pencuri yang tewas dibakar hidup-hidup kemarin menjadi berita utama. 

Teknik penulisannya sangat menarik, deskriptif dan dramatik. 'Teriakan ampun dari sosok kecil bertubuh kerempeng yang berguling-guling di lumpur minyak serasa tertelan kemarahan massa. "Bakar.....bakar.....bakar!!!", teriak massa bersahutan. Entah siapa yang melakukannya, tiba-tiba ada sebatang nyala korek terlempar dan akhirnya....."arrrkhhhhhhh......arrrrkhhhhhh...!!" teriak korban. Obor manusia bercampur jerit pilu seorang anak manusia yang dibakar hidup-hidup.....'. Tulisan tadi sangat menarik, menggunakan lead yang menggambarkan suasana dan dramatis, bernuansa misterius. 

Tapi ada yang lebih mengagetkan dan membuatku marah, sulit kulukiskan dengan kata-kata, kubaca kembali tulisan tersebut, siapa tahu salah baca.....tapi ternyata tidak. '...pengacara kondang Prakosa SH resmi menjadi pembela pejabat tinggi inisial AT (60) dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp 33 triliun rupiah, Tersangka saat ini masih menjabat sebagai Ketua......'. Kurobek koran tersebut dengan penuh kemarahan. Pengacara itu memang tak pantas kukagumi, katanya tak sudi membela koruptor, kenyataannya.......Uang pasti jadi alasannya, ya aku yakin.

*** 
20 tahun kemudian Saat ini aku sudah menjadi pejabat tinggi negara, berbeda dengan dulu aku justru mengucapkan ribuan terima kasih dan memujanya sebagai dewa pada Prakosa SH, karena membebaskanku dari tuduhan korupsi. Padahal kenyataannya aku benar-benar korupsi puluhan triliun rupiah.

"Hahahahaa....haha....hahahaaaaa," tawaku keras. Seperti biasa, angin masih bertiup seirama tarian daun, orang berlalu lalang dengan segala kepentingannya. Begitu pula denganku mengejar sang waktu yang terlalu sombong untuk dikalahkan, suatu tantangan yang luar biasa, aku harus mengalahkan waktu. "Halooo...oh pak Prakosa,,,,,terima kasih pak bantuannya.....bagaimana.....ditransfer ke rekening yang mana?....ohhhh oke-oke, langsung saya transfer. hahahahahaaa...haha... benar pak, .....ya...ya.....sudah tradisi" . Tut tut tut telepon ditutup.  

SELESAI Yogyakarta, Mei 2003  
sumber: http://www.robertussenja.blogspot.com/2012/01/sudah-tradisi-cerpen.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAYJEN TNI SONHADJI INGIN MENGAJAR

Menekuni Profesi Dosen Lemhanas Pagi yang cerah, menjadi tanda pembuka sejarah baru bagi Kodam VI Mulawarman. Markas Kodam yang berada di bilangan Jalan Jenderal Sudirman Kota Balikpapan ini kedatangan sosok pria gagah yang digadang-gadangkan menjadi Panglima Kodam Mulawarman yang bakal menggantikan Mayjen TNI Sonhadji.   Menyambut kedatangan calon Pangdam tersebut, sejumlah prajurit dan pegawai negeri sipil di lingkungan Kodam Mulawarman menyelenggarakan seremonial barisan pedang pora dengan iringan musikalitas marching band persembahan Yonzipur 17 Ananta Dharma, Selasa 20 Maret 2018. Calon pangdam yang tiba dimaksud ialah Mayjen TNI S ubiyanto, datang bersama istri ke Kota Balikpapan. Sebelum tiba di Makodam Mulawarman, keduanya telah melakukan ritual tepung tawar di Bandara Udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Balikpapan sebagai makna telah menjadi bagian dari masyarakat Kalimantan Timur.   Dipayungi awan cerah dengan berbalutkan sinar fajar, keramaian di pelatar

WIRAUSAHA MUDA INDONESIA MASIH RENDAH

Wirausaha Muda Indonesia  Masih Rendah FOTO: Pedagang Pasar Taman Kesatuan Bangsa Manado_budisusilo JUMLAH pengusaha muda di Indonesia hanya 0,18 persen dari total penduduk di Tanah Air. Angka itu masih jauh jika dibandingkan dengan Malaysia yang jumlahnya 16 persen dari total populasi penduduk di negeri jiran tersebut. TAK berbeda jauh di Sulawesi Utara (Sulut). Hanya segelintir orang muda yang berani mengadu nasib di sektor usaha. Paramitha Paat misalnya. Setelah selesai kuliah, dia memilih jalankan usaha sendiri. Keputusan tersebut dilakukannya karena dia mengaku tidak suka dengan pekerjaan terikat. "Oleh karena itu, ketika ada teman yang mengajak joint partner saya langsung setuju," ujarnya, Kamis (23/2). Mitha --panggilan akrabnya-- mengatakan, ada keuntungan dan kerugian dalam membuka usaha, namun yang pasti kalau usaha rugi ditanggung sendiri, begitu pula jika untung dinikmati  sendiri. Yang pasti membuka usaha, banyak pelajaran diperolehnya, tidak didapatkan ketika d

DEMI PENGUNGSI NURLELA RELA PUNGUT SAMPAH

Demi Pengungsi Nurlela Rela Pungut Sampah Menjelang sore, cuaca bersahabat. Belasan muda-mudi berkumpul di Kelurahan Danowudu Lingkungan Satu. Remaja yang tergabung dalam Jongfajarklub memanfaatkan waktu ini untuk melaksanakan program Go Green penukaran sampah plastik menjadi uang, untuk serangkaian kegiatan sosial satu di antaranya pengungsi, Sabtu (8/10/2011). Seorang aktivis Jongfajar, Diki Rustam, menuturkan, kegiatan Go Green mengumpulkan sampah-sampah plastik bekas gelas dan botol plastik air mineral. "Kami pungut demi lingkungan bersih," ujarnya kepada Tribun Manado. Teknis kegiatan Go Green yang dilakukan Jongfajar mengumpulkan sampah-sampah di Kota Bitung dan ditampung di Girian Bawah. Sampah dibawa oleh para relawan jongers dari tempat-tempat wilayah rawan sampah. Sudah terkumpul banyak ditukarkan ke bank sampah menjadi uang. "Buat tambahan pembiayaan program pemberantasan buta aksara di masyarakat secara gratis yang kami akan lakukan di warga peng