Minimnya Pemahaman Kebudayaan
Oleh: Mahyudin Damis
Oleh: Mahyudin Damis
Kebanyakan orang jaman sekarang, memahami kebudayaan itu masih sebatas artifsial atau kebendaan saja. Dan yang mengkuatirkan, ini terjadi pada siswa tingkat SMU di Manado. Wujud ideal berupa ide-ide, gagasan-gagasan dan norma-norma atau peraturan yang berlaku dalam masyarakat mereka tak ketahui.
![]() |
FOTO: tribunpontianak |
Padahal dalam pemahaman tentang kebudayaan, bukan hal itu saja yang dimaksud, karena memiliki makna luas. Hal inilah yang saya kemukakan dalam acara debat ilmiah siswa di IT Center, sebagai dewan juri belum lama ini.
Secara teoritis, wujud ideal kebudayaan yang paling konkret adalah undang-undang, peraturan-peraturan atau tata tertib di sekolah. Bisa pula dalam bentuk visi-misi dan statuta universitas.
Seperangkat peraturan ini terdapat nilai-nilai universal yang dapat diterima dalam suatu institusi. Pemahaman pemerintah tentang kebudayaan pun penuh arti baik, karena itulah kenapa penamaan Kementrian Pendidikan Nasional kini tak lagi dipakai, atau dikembalikan lagi menjadi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebab dengan adanya pendidikan dan kebudayaan maka terdapat kandungan nilai pembelajaran nation and character building.
Selain itu, wujud kebudayaan yang kedua disebut sistem sosial atau interaksi sosial. Hal ini gambaran jelasnya seperti di lingkungan sekolah di tiap hari Senin digelar Upacara bendera, lalu masuk kelas tuk belajar. Atau masuk sekolah dari hari Senin sampai Sabtu dan di hari Minggu dapat libur.
Demikian pula setiap pagi pedagang ke pasar menjual dagangan hingga sore termasuk nelayan, pegawai negeri, wartawan serta profesi lainnya dengan segala rutinitasnya (kebiasaan) termasuk juga wujud kebudayaan yg disebut sistem sosial (social system).
Kemudian, ketika mereka diberikan soal menyangkut kebudayaan di Manado, hal yang muncul dibenak pikiran para siswa tiap personal hanyalah sebatas benda seperti bendi (delman) dan waruga. Tentu ini sangat di sayangkan.
Saya mencoba telusuri dari salah seorang juri dari Dikbud Manado ternyata matapelajaran antropologi digabung dengan sosiologi dan yang mengajar pula adalah guru-guru yang bukan berlatar belakang ilmu sosial-budaya khususnya antropologi.
Kita tahu bahwa ilmu kebudayaan itu induknya ada dalam ilmu antropologi yang mempelajari tentang manusia dan kebudayaannya.
Kebudayaan disini didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan manusia yang diperoleh melalui proses belajar dan digunakan dalam rangka menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya. Mislanya ilmu antropologi dalam melihat ekonomi, yang disebut sebagai antropologi ekonomi (AE).
AE ini mempelajari gejala-gejala ekonomi yg dipraktikan manusia pada umumnya, tapi dilihat dari perspektif kebudayaan.
AE ini dalam kerjanya akan berusaha memahami perubahan-perubahan dalam suatu komunitas, misalnya munculnya komersialisasi, munculnya perusahan-perusahaan yang terlepas dari ikatan-ikatan kekeluargaan dan munculnya penghargaan sosial atas keterampilan teknis yg dinilai lebih tinggi.
Dengan demikian, sistem nilai dari suatu komunitas atau masyarakat menjadi fokus perhatian antropologi. Dan karena itu, sistem nilai adanya dibelakang kepala-kepala setiap komunitas masyarakat.
Gejala ekonomi pun juga bisa dicontohkan misalnya kenapa orang Manado tidak mau makan kaki ayam sementara orang Jawa menilai kaki ayam dibuat jadi masakan sup.
Bagi orang Manado mungkin merasa 'jijik' jika melihat kaki ayam yang lengkap dengan jari plus kukunya dalam belanga, sementara bagi orang jawa itu hal yang biasa saja. Masih banyak contoh-contoh lain yang bisa menjadi masalah penelitian dalam ilmu AE.
Oleh karenanya, saya tidak heran jika para siswa SMU kurang meminati masuk jurusan Antropologi, karena mereka tidak diajarkan secara serius. Yang menjadi masalah adalah Sulut bakal kekuarangan tenaga-tenaga ahli yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan atau humaniora.
Dengan humaniora, sangat bisa membawa umat manusia memiliki rasa kepedulian, solidaritas yang tinggi dan berempati terhadap sesama. Bukankah pengetahuan ini sangat relevan dengan pembentukan pribadi-pribadi yang berkarakter ?
Atau calon-calon pemimpin yang memiliki karakter yang kuat. Siswa yang dibekali ilmu pengetahuan dengan didasari nilai-nilai kemanusiaan akan terkait erat dengan kebijakan-kebijakan yang lebih manusiawi ketika mereka menjadi pengambil keputusan baik dipemerintahan maupun di perusahan-perusahan swasta.
Dengan memiliki ilmu pengetahuan berbasis humanis, plus nilai-nilai keagamaan maka perilaku korupsi pun bisa minimal karena dalam benak mereka bahwa korupsi hanya mementingkan diri dan kelompok?, artinya, korupsi adalah suatu tindakan yang tak punya rasa empati kepada orang-orang di sekelilingnya.
Secara teoritis, wujud ideal kebudayaan yang paling konkret adalah undang-undang, peraturan-peraturan atau tata tertib di sekolah. Bisa pula dalam bentuk visi-misi dan statuta universitas.
Seperangkat peraturan ini terdapat nilai-nilai universal yang dapat diterima dalam suatu institusi. Pemahaman pemerintah tentang kebudayaan pun penuh arti baik, karena itulah kenapa penamaan Kementrian Pendidikan Nasional kini tak lagi dipakai, atau dikembalikan lagi menjadi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebab dengan adanya pendidikan dan kebudayaan maka terdapat kandungan nilai pembelajaran nation and character building.
Selain itu, wujud kebudayaan yang kedua disebut sistem sosial atau interaksi sosial. Hal ini gambaran jelasnya seperti di lingkungan sekolah di tiap hari Senin digelar Upacara bendera, lalu masuk kelas tuk belajar. Atau masuk sekolah dari hari Senin sampai Sabtu dan di hari Minggu dapat libur.
Demikian pula setiap pagi pedagang ke pasar menjual dagangan hingga sore termasuk nelayan, pegawai negeri, wartawan serta profesi lainnya dengan segala rutinitasnya (kebiasaan) termasuk juga wujud kebudayaan yg disebut sistem sosial (social system).
Kemudian, ketika mereka diberikan soal menyangkut kebudayaan di Manado, hal yang muncul dibenak pikiran para siswa tiap personal hanyalah sebatas benda seperti bendi (delman) dan waruga. Tentu ini sangat di sayangkan.
Saya mencoba telusuri dari salah seorang juri dari Dikbud Manado ternyata matapelajaran antropologi digabung dengan sosiologi dan yang mengajar pula adalah guru-guru yang bukan berlatar belakang ilmu sosial-budaya khususnya antropologi.
Kita tahu bahwa ilmu kebudayaan itu induknya ada dalam ilmu antropologi yang mempelajari tentang manusia dan kebudayaannya.
Kebudayaan disini didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan manusia yang diperoleh melalui proses belajar dan digunakan dalam rangka menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya. Mislanya ilmu antropologi dalam melihat ekonomi, yang disebut sebagai antropologi ekonomi (AE).
AE ini mempelajari gejala-gejala ekonomi yg dipraktikan manusia pada umumnya, tapi dilihat dari perspektif kebudayaan.
AE ini dalam kerjanya akan berusaha memahami perubahan-perubahan dalam suatu komunitas, misalnya munculnya komersialisasi, munculnya perusahan-perusahaan yang terlepas dari ikatan-ikatan kekeluargaan dan munculnya penghargaan sosial atas keterampilan teknis yg dinilai lebih tinggi.
Dengan demikian, sistem nilai dari suatu komunitas atau masyarakat menjadi fokus perhatian antropologi. Dan karena itu, sistem nilai adanya dibelakang kepala-kepala setiap komunitas masyarakat.
Gejala ekonomi pun juga bisa dicontohkan misalnya kenapa orang Manado tidak mau makan kaki ayam sementara orang Jawa menilai kaki ayam dibuat jadi masakan sup.
Bagi orang Manado mungkin merasa 'jijik' jika melihat kaki ayam yang lengkap dengan jari plus kukunya dalam belanga, sementara bagi orang jawa itu hal yang biasa saja. Masih banyak contoh-contoh lain yang bisa menjadi masalah penelitian dalam ilmu AE.
Oleh karenanya, saya tidak heran jika para siswa SMU kurang meminati masuk jurusan Antropologi, karena mereka tidak diajarkan secara serius. Yang menjadi masalah adalah Sulut bakal kekuarangan tenaga-tenaga ahli yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan atau humaniora.
Dengan humaniora, sangat bisa membawa umat manusia memiliki rasa kepedulian, solidaritas yang tinggi dan berempati terhadap sesama. Bukankah pengetahuan ini sangat relevan dengan pembentukan pribadi-pribadi yang berkarakter ?
Atau calon-calon pemimpin yang memiliki karakter yang kuat. Siswa yang dibekali ilmu pengetahuan dengan didasari nilai-nilai kemanusiaan akan terkait erat dengan kebijakan-kebijakan yang lebih manusiawi ketika mereka menjadi pengambil keputusan baik dipemerintahan maupun di perusahan-perusahan swasta.
Dengan memiliki ilmu pengetahuan berbasis humanis, plus nilai-nilai keagamaan maka perilaku korupsi pun bisa minimal karena dalam benak mereka bahwa korupsi hanya mementingkan diri dan kelompok?, artinya, korupsi adalah suatu tindakan yang tak punya rasa empati kepada orang-orang di sekelilingnya.
Komentar
Posting Komentar