PANGGIL AKU JONG !
KENALKAN nama ku Jong. “Salam Bhineka, merdeka dan sejahterah,” tuturnya. Jong di panggung kehidupan Kota Manado, termasuk jenis golongan orang-orangan, maklumlah, ia agak gila kalau bahasa kasarnya. Jarang mandi, sehari itu bisa dihitung hanya sekali, inilah resiko yang ia ambil, sebab selebihnya, Jong itu lebih sering beraktivitas di luar ruangan, membalut alam bebas. “Jarang pulang, keasikan diluar, menikmati angin, cahaya matahari, rintikan hujan,” urai Jong.

Nama kepanjangannya berbeda dengan kebanyakan orang di tanah Minahasa, apalagi di pulau Jawa, tak ada yang menyamainya. Jong Tan Kelana, inilah lengkapnya. “Panggil aku Jong,” tuturnya. Model rambutnya khas gaya umum orang Papua, keriting hitam, kulitnya putih mirip orang Palembang, bunyi suaranya keras seperti orang Batak.
Terkadang gaya bicaranya kelewat batas, ide-idenya di luar ketentuan aturan normal dan kritis mengharap ada sebuah perubahan, layaknya gaya orang-orang kampus perguruan tinggi. “Pokoknya gak ikut aliran atau ideologi apa-apa. Jong adalah Jong, bukanlah siapa-siapa,” tegas Jong, menunjukan komitmen dan keteguhan dirinya.
Ditanya ijasah, apalagi berasal dari lulusan perguruan tinggi mana, Jong akan menjawab dengan super singkat. “Cuma lulus sekolah dasar,” ungkapnya. Lalu kenapa hanya mengenyam sampai pendidikan formal dasar saja. “Bisa baca tulis itu sudah bisa jadi modal sebagai orang pandai. Belajar bisa kita dapat dimana saja, di muka bumi ini tersimpan banyak ilmu yang bisa dipelajari,” tuturnya.
Serba salah, katanya, mau lanjutkan sekolah ke tingkat paling tinggi tidak ada biaya. “Negara sih sudah mewajibkannya, tapi hanya sebatas di atas kertas. Buat orang miskin harta, kata wajib belajar dikonstitusi negara gak jauh beda mirip orang punya banyak lembaran uang dollar yang hidup di hutan belantara. Tidak ada gunanya, gak bisa terpakai,” sindirnya. (bersambung)
Komentar
Posting Komentar