Panggung MADILOG
Salut untuk satu pemuda ini, yang mengaku berasal dari
Sulut (Sulawesi Utara, Indonesia). Sejak awal ia tetap berkomitmen pada garis
perjuangannya, hal oportunis dan pragmatis tidak tampak terlihat di gaya tutur
literasinya.
Sejak awal jongfajar berbincang dengan tembakan-tembakan peluru
kontra membabi-buta, namun pemuda satu ini tetap teguh pada pendiriannya
seperti filosofi yang terlontar dari Tan Malaka “BERGELAP-GELAPLAH
DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP ! ”
Sampai titik akhir , pemuda ini selalu mendekap erat
idealismenya, menulis dengan nada kritis, seolah yang ia lakukan itu
benar-benar muncul dari jiwa raganya, dan berupaya sekuat tenaga untuk membuka
kota pandora, demi mencapai tujuan pencerahan.
Tak main-main oleh nada logikanya yang berkiblat pada kaum
masyarakat nelayan kecil. Pria yang notabene
lulusan hubungan masyarakat dari Universitas Sam Ratulangi ini, menggambarkan
simbol keterwakilan untuk kepentingan publik, menanggalkan egoisme dan bukan
untuk konsumsi dirinya saja !.
Tentu saja, dilihat daya upayanya itu, pemuda ini
menunjukan sebagai pekerja-keras, yang menomorsatukan sebuah proses pencapaian
idealismenye.
Dan karena itulah, seakan pantas ia dinobatkan sebagai pewaris
yang mampu menghidupkan gagasan Tan Malaka dalam Bab 3, Ilmu Alam yang berbunyi,
“Sedangkan sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih
penting, daripada hasil sendiri.
Masih adakah model pemuda yang seperti ini ? Ditengah
gempuran era hedonisasi westernisasi, banyak yang terjebak pada hal-hal yang
menghancurkan idealisme pemuda.
Asalkan ada ‘gula’, maka terceburlah dia, meski
mengorbankan banyak pihak dan menggadaikan marwah bangsa.
Dilematis, persoalan bangsa
kini, sangat langka menemukan orang-orang yang bekerja dengan niatan Padamu Negeri, seperti mungkin bung
Themmy ini.
Hei, bung Themmy, dengan gaya seperti kau saat ini,
tentu kau dapat dikategorikan masuk dalam bagian dari gerbong kaum-kaum
revolusiner ala Tan Malaka yang mengidamkan sebuah bangsa yang merdeka 100
persen.
Dan mungkin jika masih hidup, tentu Tan Malaka akan berbangga melihat
sifat itu, sebab “Idealisme
adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda,” kata Tan Malaka.
Jongfajar selalu berdoa, selalu mendukung penuh !, tetap
bertekad bulatlah atas perjuangan mu itu. Sebab catatan ini akan menjadi
sejarah, bahwa anda satu di antara pemuda yang punya komitmen memperjuangkan
kaum pesisir nelayan kecil, agar terbebas dari apa yang disebut “perbudakan dan
penjajahan” bernama reklamasi pantai yang dituding lebih menguntungkan kaum
pemodal besar konglomerat yang menghisap.
________________________________________
Berikut tanggapan Themmy Aditiya Nugraha usai bersua
di Inbox Jongfajar:
Untuk Nasionalis Tai Anjing!
Siang itu angin masih membelai-belai kulit. Gerimis. Langit belum puas
mengencingi daratan Manado setelah timbul banjir di sana-sini dan menelan 10
korban jiwa – belum lagi 3 hilang. Saya sendiri sedang berada di Daseng
Panglima, sibuk menyebarkan kabar ditanda-tanganinya Perpres nomor 122 tahun
2012 mengenai reklamasi di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tak lama setelah itu, di chat box facebook, masuk komentar dari JF
– komunitas kepemudaan nasionalis atau sejenisnya yang beredar di bumi Sulawesi
Utara. Awalnya, hanya percakapan normatif dengan tanggapan-tanggapan santai,
sebelum meluncur ke akar masalah yang akan saya tuliskan.
Barangkali, saya harus mengakui kesalahan awal saya: berharap lebih pada komunitas
jahanam ini. Secara subjektif, saya merasa pantas untuk menyebutnya jahanam.
Dan, tentu saja, setiap orang boleh memberi penilaian berbeda mengenai tulisan
ini.
Titik panas dimulai ketika saya mendapat balasan yang berbunyi, “apalagi
‘global warming’ telah mengancam planet bumi, wilayah daratan akan berkurang,
karena lapisan es di kutub utara dan selatan mencair akibat efek rumah kaca.
Wajar bila ada reklamasi laut (mungkin yang dimaksud adalah pantai atau
daerah pesisir). Tanpa ada rekalmasi banyak anak-anak nelayan dan orang
tuanya hidup dalam kemiskinan, kenapa kita tidak coba melibatkan mereka dalam
revolusi reklamasi laut”.
Saya tersinggung, sekaligus merasa menerima pernyataan konyol, dari jawaban
tersebut. JF menghubungkan global warming dengan penimbunan pantai
secara tidak tepat, dan tentu saja: bodoh. Reklamasi dianggap sebagai jalan
keluar atas mencairnya es di kutub utara maupun selatan.
Padahal, naiknya
volume air akan semakin bertambah parah dengan di’cemplung’kannya batu ke dalam
laut. Seperti air dalam gelas yang ditambah dengan batu.
Memang harus diakui bahwa – disengaja atau tidak – perdebatan brekaitan
dengan reklamasi pantai masih terus berlangsung hingga saat ini. Namun, ketika
mendiskusikan percakapan tersebut dengan seorang doktor – yang juga cukup lama
konsen di gerakan lingkungan – tersimpan rentetan kata sebagai berikut, “selama
saya mengikuti seminar mengenai ‘global warming’, baru kali ini mendengarkan
solusinya adalah dengan melakukan reklamasi pantai”.
Sekali lagi, saya membaca pernyataan bodoh di chat box facebook.
Tapi, saya perlu mencatatkan ini sebagai pelajaran yang tak perlu dilakukan
kedepannya. Saya tetap yakin bahwa alam harus mengatur dirinya sendiri.
Yang kedua dan terakhir – yang terasa penting untuk dicatatkan. JF
mengatakan bahwa “… itu dia, sekali-kali bermain di kampung nelayan, apakah
di sana bersih, tertib dan lestari? Apakah selama tidak ada reklamasi hidup
mereka sejahterah, mampu sekolahkan anaknya sampai pergurutan tinggi? Kemudian
satu lagi, apakah anda sudah berperan ke mereka, membawa mereka hidup dalam
sejahtaearh sehat sentosa?”
Pertanyaan pertama bisa dijawab dengan mudah. Saya telah bersama nelayan
kira-kira sejak sembilan bulan lalu, dan masih bersama dengan mereka hingga
sekarang. Tidak tahu dengan JF. Mungkin dia ada di sekitar saya, tapi tak
saling menyapa. Mungkin pula ia “merasa” berada bersama-sama dengan nelayan.
Saya rasa tidak. Karena seandainya, admin JF, berada (pernah) bersama dengan
nelayan, sudah pasti tak ada komentar semacam itu.
Ia seakan meyakini bahwa
nelayan akan sejahtera jika reklamasi pantai berlangsung, atau setidaknya
menilai nelayan dengan atau tanpa reklamasi tak mampu sekolahkan anak hingga ke
perguruan tinggi.
Di bagian ini, barangkali karena emosi saya sudah terlanjur mendidih,
seorang nelayan melirik laptop yang saya gunakan dan berhasil membacanya. Ia
naik darah, tersinggung dan gemetaran. Seperti diremehkan.
Padahal, si nelayan
di samping saya adalah lulusan salah satu perguruan tinggi di Sulawesi Utara, dan
sedang mensekolahkan ke putra-putrinya di dua universitas berbeda di Sulawesi
Utara.
Sekali lagi, penjelasan JF terlihat begitu serampangan.
Dan yang terakhir, yang cukup sulit untuk dijawab “Kemudian satu lagi,
apakah anda sudah berperan ke mereka, membawa mereka hidup dalam sejahterah
sehat sentosa?”
Tidak. Saya belum melakukan kedua-duanya. Penulisan skripsi berkaitan dengan
penolakan reklamasi pantai bukanlah apa-apa. Saya hanya memindahkan fenomena
sosial ke dalam tulisan, karena memang itu pendekatan teoritik yang saya pakai
dalam penyusunan skripsi. Tidak juga dengan membawa hidup mereka dalam keadaan
sejahtera dan sentosa. Saya bukan Tuhan. Saya bukan panasea.
Tapi bukan berarti harus diam. Saya tidak mungkin membiarkan orang asing
meremehkan guru (dalam arti sesungguhnya) saya. Tidak baik juga membiarkan
orang asing menghina orang yang banyak berkorban untuk saya. Tidak adil juga
membiarkan orang lain yang tanpa alasan menempatkan kawan saya dalam posisi
inferior.
JF benar, saya tidak (belum) berbuat apa-apa pada nelayan. Tapi, sebaliknya,
nelayanlah yang banyak berbuat untuk saya. Untuk hidup saya. Dan ini sudah
cukup untuk jadi alasan bahwa saya tidak terima dengan pernyataan JF. Pernyataan
a priori mengenai nelayan.
Terlalu panjang mencatatkan kegelisahan adalah kesia-siaan. Bertemu admin JF
dan meremukkan batang hidupnya adalah tindakan yang paling menyenangkan. Semoga
saja. Suatu saat.
BERIKUT PETIKAN PERCAKAPAN di INBOX
Jongfajar: Minggu (17/2/2013) pukul 2:39Wita
Themmy Aditya Nugraha (TAN): http://perkumpulankelola.blogspot.com/2013/02/quo-vadis-pembatalan-hp-3.html
Jongfajar (JF): sip thanks info
ya salam blogger
TAN: salam!
JF: yg penting reklamasi bawa
kesejahtaran rakyat, setuju banget.
tolak konglomerasi reklamasi !
rekalmasi jadi jalan revolusi tuk egaliterkan kemapanan ekonomi keseluruhan
rakyat.
TAN: reklamasi itu praktik
privatisasi laut, entah dilakukan negara atau pengusaha..
dampaknya kena juga pada alam dan masyarakat pesisir
JF: untuk itu harus dimiliki
pemerintah & pengelolanya itu swasta agar bisa bersifat untuk kepentingan
publik dan terhindar dari kapitalisasi negara (penguasaaan aset oleh birokrat)
TAN: kalau saya pikir lebih baik
diserahkan kepada masyarakat pesisir atau siapapun yang ingin menikmati laut.
kan itu praktik sosialisme yang sesungguhnya?
JF: yg jadi persoalan, apakah
profesional ?, karena itu, tentu saja masyarakat pesisir disana jga ikut
dibina, dilibatkan tuk pengelolaan pengembangan ekonomi sektor reklamasi laut !,
apalagi Global Warming telah mengancam planet bumi, wilayah daratan akan
berkurang karena lapisan es di kutub utara dan selatan mencair akibat efek
rumah kaca, wajar bila ada reklamasi laut,
tanpa ada rekalmasi banyak anak-anak nelayan dan orang tuanya hidup dalam
kemiskinan, kenapa kita tidak coba melibatkan mereka dalam revolusi reklamasi
laut.
TAN: pertama definisikan dulu
arti profesional. asalnya dari profesi. kalau yang diartikan profesional adalah
kerja dalam gedung saja, itu konyol namanya. menjaring ikan itu profesi
turun-temurun, dan nelayan atau masyarakat pesisir tidak butuh reklamasi pantai
untuk bisa hidup sampai sekarang
yang kedua persoalan global warming.. saya kira itu justru terjadi karena
banyak manusia serakah melakukan perusakan lingkungan. seperti gelas berisi air
yang kemudian ditambah lagi dengan batu. tumpah bukan?
ketiga, anda harus kenal dulu hidup nelayan baru boleh berkomentar
"tanpa ada reklamasi banyak anak-anak nelayan dan orang tuanya hidup dalam
kemiskinan, kenapa kita tidak coba melibatkan mereka dalam revolusi reklamasi
laut."
yang keempat, seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran, apalagi
dalam perbuatan
JF: itu dia, sekali-kali bermain
di kampung nelayan, apakah disana bersih, tertib dan lestari ?
apakah
selama tidak ada reklamasi hidup mereka sejahterah, mampu sekolahkan anaknya
sampai pergurutan tinggi ?
kemudian
satu lagi, apakah anda sudah berperan ke mereka, membawa mereka hidup dalam
sejahterah sehat sentosa ?

yang keenam,
banyak di antara mereka mensekolahkan anak sampai di perguruan tinggi, dengan
hasil tangkapan ikan.
yang
ketujuh, anda tidak mengerti apa-apa mengenai apa yang anda bicarakan
JF: apakah anda termasuk dari
anak nelayan yang mampu sekolah sampai pergurutan tinggi.
TAN: dan, yang kedelapan, saya menyesal berharap terlalu banyak pada grup
elitis seperti jong fajar
JF: silahkan share hasil
penelitian anda ke jongfajar, terima kasih bila berkenan memberikan hasil
penelitian anda selama enam bulan tsb,
seorang
pelaut atau nelayan tidak pernah ada kata menyesal bagi hidupnya apalagi
berhubungan dengan orang lain, sebab nelayan itu adalah petarung hidup dan
bersahabat
TAN: hahahahha... siapa anda?
saya terlalu pelit untuk membagi ilmu. karena menurut saya, selain bisa jadi
alat membangun, ilmu juga bisa menjadi alat penghancur.
barangkali, anda bisa melakukan penelitian dan belajar bersama nelayan
secara langsung
dan terakhir, saya bukan nelayan
JF: pelit ilmu ? berarti anda
telah melakukan kapitalisasi pendidikan (ilmu), yang mengukur pada prinsip
imbal balik transaksional untung dan rugi, hancurlah kalau bangsa ini di isi
muatan seperti ini.
sekedar menyambung lidah nelayan, para nelayan sudah menyesal dan muak pada
orang-orang yang memperjuangkan ats nama nelayan tetapi ujung-ujungnya untuk
mengejar popularitas politik pragamatis. semoga anda tidak termasuk politisi
yang model demikian ?
TAN: ah, anda tidak usah bicara
banyak mengenai nelayan, setelah habis-habisan menempatkan mereka dalam posisi
inferior. dan, nelayan mana yang anda wakili?
ah, bicara pendidikan itu bicara institusi, bung. kalau yang anda bicarakan
ilmu, manusia bisa dapatkan di mana saja
JF: anda memang seperti pejabat
masa kini, mengalihkan isu yang jongfajar pertanyakan,
pandai mengalihkan isu,
ingat cuma isu bukan fakta yah, hemmm miris deh
TAN: dan, lagi. saat ini saya
sedang bersaama nelayan tradisional yang gemetaran membaca komen-komen anda.
dan si bapak, adalah lulusan perguruan tinggi negeri di sulawesi utara
JF: sudahlah tak usah pakai
gertak sambal bawa-bawa massa (geng-gengan), ini gaya tak jauh berbeda dengan
politisi jaman sekarang yang hanya mengkuatkan kekuatan massa tapi
rasionalisasi dan idealisme di tinggalkan,
TAN: saya bicara fakta, bukan
teori.
dan untuk mengetahuinya anda bisa datang kemari
sama sekali tidak, kawan..
ini hanya sebagai ajang pembuktian bahwa yang saya tuliskan tidak ngawur
toh, itu yang anda tuntut tadi?
JF: ni kan jaman teknologi, bukan
lagi mirip era majapahit, kirim saja lewat online hasil penelitian anda itu,
tuk membuktikan bahwa anda berkata benar,
TAN: ah, begini saja, kunjungan
ke daseng panglima berbonus skripsi saya..
dan,kita sudah terlalu banyak bercakap.
saya titip salam untuk budi
dan saya akan kirimkan hasil percakapan ini pada seniormu itu
JF: Yah, kita perlu revolusi,
yang namanya revolusi itu harus gerak cepat, tanpa ada batasan. jika tidak bisa
mengimbangi ini berarti anda bukan termasuk gerombolan revolusioner,
siapa itu budi ? jangan alihkan isu lagi. negara ini sudah hampir masuk ke
jurang bangkrut akibat permainan isu-isu (gosip belaka)
Jongfajar Klub, katanya sebuah komunitas jongers (berjiwamuda) anti FEODAL, EGALITER dan MANDIRI... tapi kok terlihat bodoh dan konyol ya.. anda sepertinya terlalu lama duduk di ruang sempit melihat dunia lewat media internet atau televisi.. atau mungkin anda cacat dan tak bisa keluar rumah sehingga pengetahuan anda cetek..
BalasHapusmaaf bila anda tersinggung karena saya tidak perduli..
tragis memang... anda ini menyedihkan yah... kok bisa reklamasi pantai menjadi solusi global warming.. hahaha.. anda mungkin tidak paham apa itu reklamasi pantai..
hati2 bung bikin malu komunitasnya..